BREAKING NEWS

Sabtu, 28 Juli 2012

Pelinggih sebagai Stana Rsi Leluhur (Kasus : Desa Bugbug)

Sehubungan tidak semua umat mampu melakukan kosentrasi yang baik dalam pemujaan kepada Hyang Widhi, maka para Rsi yang bijaksana menciptakan ”Pelinggih” yang berwujud fisik yang diistilahkan ”Niyasa”. Sejarah orang bali yang leluhurnya sebagian besar berasal dari Jawa, maka pengaruh Jawa banyak mempengaruhi bali, seperti adanya ”Meru” yang berasal dari Mahameru, dimana tumpangnya selalu ganjil (1-11) yang merupakan simbul Aksara Suci, seperti Meru Tumpang Tiga simbul Tri Aksara atau Tri Purusa (Siwa,Sadasiwa,Parasiwa).

Lama kelamaan Meru itu menjadi dua macam, yaitu sebagai Dewa Pratistha (Stana Dewa) dan Atma Pratistha (Stana Roh Suci/Leluhur) perbedaannya hanya pada sikut (ukurannya) sesuai Astha kosala-Kosali. Jika kita hadir ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel, Klungkung, Bali, maka kita akan menjumpai Pelinggih berupa Meru Tumpang Telu yang merupakan tempat pemujaan “Ratu Pasek” beliau adalah Mpu Ghana yang merupakan saudara ketiga dari“Panca Tirta” yaitu : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah(Catatan : Catur Sanak/Empat dari Panca Tirta kecuali Mpu Bharadah datang ke Bali pada sekitar tahun 1000 Masehi, atas permintaan Raja Udayana untuk menata Bali). Mpu Ghana penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel Klungkung dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara (Leluhur Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel) dibangun sebuah Pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan (Putra Kresna Kepakisan) yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) Pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama “Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Disamping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu : Warga Pasek, Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang dinobatkan pada saka 1382 (tahun 1460 Masehi) tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu Pelinggih (Bangunan suci) untuk Danghyang Nirartha dan keturunannya, sehingga menjadi Pusat Penyungsungan empat Warga. Selanjutnya di Pura Besakih dikomplek Parahyangan Leluhur, tepatnya di Pura Catur Lawa kita juga akan menjumpai Pelinggih berupa Meru Tumpang Pitu, yang juga tempat memuja “Ratu Pasek”, beliau adalah“Mpu Semeru” yang kedua dari Panca Tirta. Beliau adalah pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliau mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Jadi Meru disini berfungsi sebagai “Atma Pratista”.

”Mpu Kuturan” yang keempat dari Panca Tirta, beliau adalah Arsitek desa Pakraman dengan Pura Desa, Puseh, dan Dalem, dan untuk dirumah tangga hanya dibuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan ”Tri Murti’ (Brahma,Wisnu,Siwa), inilah Pelinggih yang diwariskan oleh leluhur kita. Pada perkembangan berikutnya umat mulai dibingungkan dengan Rong Tiga sebagai Warisan Mpu Kuturan dengan Rong Tiga yang diartikan oleh sebagian orang sebagai ”Pemujaan Leluhur”, walaupun yang dimaksudkan disini sebenarnya intinya sama : yang sudah lebur badan kasar (Stula Sarira/Panca Maha Bhuta) dengan Ngaben, sudah Lebur ”badan astral (badan halus/suksme sarira)” dengan Memukur/Nyekah (Atma Wedana) dan tinggal atma yang merupakan bagian dari Paramaatma sehingga dilinggihang di Kemulan sebagai Dewa Hyang yang berarti juga Widhi, jadi jangan dikaburkan akan hal ini. Pada kedatangan Danghyang Nirarta, maka diciptakan ”Padmasana” yang sekarang juga dikaburkan dengan Pelinggih Surya. Dalam pengertian ini Padmasana sebagai Pelinggih dengan atap terbuka memang tidak membatasi Ista Dewata dibandingkan Kemulan yang jelas Ista Dewatanya ”Tri Murti”, jadi Padmasana diartikan sebagai Stana Dewa Surya juga tidak salah. Dalam setiap pemujaan atau upacara, Surya dan Tirta Surya sebagai ”upasaksi” selalu ada, walaupun di banyak tempat tidak ngelinggihang Surya, maka saat upacara dibuatkan Sanggar Surya yang sifatnya tidak permanen. Dalam sastra, ada ketentuan jika disuatu Pura sudah ada minimal 11 Pelinggih, baru diijinkan untuk mendirikan Padmasana, namun sekarang Padmasana menjadi pilihan terutama diluar Bali karena dianggap praktis, namun konsep Mpu Kuturan dengan Rong Tiga jangan dilupakan, artinya minimal dalam keluarga kecil ngelinggihang ”Kemulan Rong Tiga”, seperti halnya setiap awal mantram yang diawali ”AUM (Ang=Brahma, Ung=Wisnu, Mang=Siwa). Di beberapa desa di Jawa juga ada dijumpai pemujaan Tri Murti ini, hanya bentuknya 3 buah batu secara terpisah.

Sekarang mari kita melihat bagaimana perkembangan Pelinggih di Pura dan Mrajan pribadi apakah ada perbedaan atau perkembangan ?. Di Pura Kawitan kita melihat ada Pelinggih Meru tumpang tiga (Ratu Pasek), sekarang setiap Pasek umumnya punya Pelinggih Meru Tumpang Tiga, padahal jika mengacu, bahwa itu adalah Mpu Ghana (salah seorang Panca Tirta) maka Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, boleh memuja leluhur lewat Meru Tumpang Tiga, karena Pasek keturunan Mpu Gni Jaya (tertua) dan Ida bagus, Anak Agung, I dewa, keturunan Manik Angkeran, dll adalah keturunan Mpu Bharadah (terkecil). Di Bugbug juga ada Pelinggih Menjangan Saka Luang berupa ”Saka” yang ditopang oleh Menjangan, itu adalah Pemujaan kepada Mpu Kuturan. Juga ada Pelinggih ”Bethara Bagus Bebotoh” itu adalah Danghyang Manik Angkeran (masih keturunan Mpu Bharadah) yang dari perkawinannya dengan putri Ki Dukuh Blatung yang bernama Ni Luh Pasek Prateka/ Warsiki, keturunannya dikenal dengan : Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh, Arya Sidemen. Di Bugbug juga mestinya ada wangsa lain selain keturunan Panca Tirta, seperti : Arya Kuta Waringin keturunan dari putra Airlangga juga Arya Kebon Tubuh, dll. Kalau kita menegok kerumah, maka Pelinggih asli adalah ”Bale Lantang”. Jika diteliti disitu ada dua hal, yaitu satu ada Rong Tiga yang kemungkinan Kemulan, ada juga Rong Pitu. Untuk Rong Pitu jika itu Sapta Rsi (Sapta Pandita-Putra Mpu Gni Jaya di Lempuyang Madya) leluhur Pasek, itu mungkin saja karena jaman itu keturunan Sapta Pandita selalu menjadi Purohita di Bali dan Jawa Timur (Daha,Kediri, dll). Terbukti juga di Bugbug ada ”Pedukuhan” dimana Jro Dukuh adalah Purohita/Brahmana dari keturunan Sapta Pandita tempat warga Me-Siwa, hanya ketika Danghyang Nirarta dipercaya oleh Dalem Waturenggong menjadi Purohita maka beliau mengangkat 5 putranya menjadi Pedanda dan umat diminta Me-Siwa kepada mereka, disini peran para Mpu keturunan Sapta Pandita dan Bujangga Wesnawa dialihkan kepada Danghyang Nirarta, namun secara informal peran Dukuh dan Bujangga tetap ada. Kemungkinan yang lebih mengena atas Rong Pitu ini adalah ”Sapta Hyang”, yaitu Putra-putri Hyang Pasupati di Jawa Timur yang diutus ke Bali menjaga keseimbangan Bali dan ber-parhyangan di : Besakih (Bhatara Hyang Putranjaya), Lempuyang Luhur (Bhatara Hyang Gnijaya), Hulun Danu Batur (Bhatari Hyang Dewi Danuh), Batukaru (Bhatara Hyang Tumuwuh), Gn Beratan (Bhatara Hyang Manik Gumawang), Pejeng (Bhatara Hyang Manik Galang), Gn Andakasa (Bhatara Hyang Tugu) Catatan : Hyang Gnijaya adalah Leluhur Panca Tirta. Masing-masing beliau adalah Bhatara (Bhatr=yang melindungi) dan memuja Ista Dewata, seperti : Dewi danuh sebagai pengabeh Dewa Wisnu, dll. Sekarang ini banyak terjadi penambahan Pelinggih di Bugbug, seperti : Pelinggih Kawitan, Surya, Kemulan, juga Kembar, walaupun ini tidak salah tetapi telah berubah dari konsep awal warisan Mpu Kuturan. Munculnya Pelinggih Kawitan karena memang jaman dulu ada istilah ”Nyineb Wangsa” yaitu menghilangkan asal-usul mungkin karena menyembunyikan diri, ada juga ”Petite Wangsa”yaitu dihilangkan asal usul oleh penguasa karena kesalahan, untuk di Bugbug mungkin Petite Wangsa dengan kesadaran bersama agar berfokus pada Bendesa sebagai pengikat desa. Sekarang ketika orang ingin mengenal dan bhakti pada leluhurnya yang sejati (mulai sekitar tahun 1960-an), maka itu bukan kesalahan. Pelinggih Kembar kemungkinan muncul lebih baru yaitu mungkin setelah Era Airlangga, yaitu Era Majapahit dan Dalem sebagai Adipati (wakil raja) di Bali, atau mungkin pada masa runtuhnya Majapahit dan di Bali muncul Raja-Raja lokal di sembilan kabupaten pada antara abad XV – XVI (abad XVI penjajah masuk dengan konsep Tri Wangsa dan Jaba). Pada fase ini ada istilah Manak Salah dimana jika Penguasa yang melahirkan kembar buncing dianggap anugrah sedangkan jika rakyat dianggap petaka. Penghormatan yang tinggi kepada Kembar Buncing ini bisa dianalogkan dengan penghormatan kepada kembar biasa (bukan buncing), ini hanya analisa sebaiknya kedepan diteliti lebih jauh karena dengan konsep ”Dewa Hyang”, maka sesungguhnya semua yang sudah lebur Panca Maha Bhuta (stula sarira) dan Astral (Suksme Sarira) dilinggihang di Kemulan merage Dewa Hyang.


Sumber : diambil dari tulisan :

Nyoman Sukadana
Jaten-Karanganyar-Solo

Posting Komentar