Apakah Pitra Yadnya dan Ngaben itu sama atau berbeda?, pertanyaan ini pasti ada dimasyarakat dimana sesungguhnya Ngaben merupakan bagian dari Pitra Yadnya. Ngaben dapat diartikan pembakaran layon (utuh atau setelah berupa tulang belulang) karena Ngaben berasal dari Ngabu atau menjadikan abu, Ngaben juga berarti ”Ngapiin” atau membakar walaupun tidak semua Ngaben berarti dibakar dengan api nyata karena para leluhur kita mampu melakukannya dengan Cita Agni. Jadi Pitra yadnya lebih luas daripada Ngaben dan bisa dikatakan Ngaben itu hanya baru awalnya saja dari proses Pitra Yadnya yang utuh.
Pitra Yadnya landasannya adalah Weda, terutama ajaran Panca Yadnya, Catur Guru, dan lainnya, sehubungan di bali ajaran Hindu banyak dituangkan dalam lontar, maka lontar yang khusus memuat Pitra Yadnya, adalah : Lontar Aji Lokhakretih, Tutur Budha Gama, Lontar Aji Purwakretih, Lontar Yama Purana Tattwa, dan lainnya, jadi Pitra Yadnya sudah ada ageman yang benar sesuai sastra agama, kalau ada perbedaan itu umumnya masalah Drestha. Ngaben dilaksanakan setelah orang itu meninggal dimana menurut ”Vrasphati Tattwa” orang dikatakan meninggal adalah ”setelah Atman ini terlepas dari Panca Maha Bhuta (Apah=darah, keringat, Teja=panas badan, Bayu=napas, Akasa=lobang/rongga, Pertiwi=kulit,daging,otot,lemak) yang merupakan badan kasar (sthula sarira). Badan ini juga terdiri dari ”Panca Tan Matra” (Sabda=telinga&mulut, Sparsa=kulit, Rupa=mata, Rasa=lidah, Gandha=hidung yang mempunyai fungsi merasakan, mencium, dll.)Lepasnya Atma dari ikatan Panca Maha Bhuta maka disebut dengan Mati.Atman jika belum dilakukan Pitra Yadnya disebut petra , yakni Atman yang belum disempurnakan . Atman demikian masih berada di bhur-loka. Apabila sudah dilakukan Pitra Yadnya, maka atmanya disebut pitara. Atman ini telah disucikan karena sudah melakukan dwijati dengan memohonkan pada Hyang Widhi. Atman yang demikian itu sudah berada di bhuwah-loka , disebut pula alam pitra/pitara. Atman dalam tingkatan pitara belum bisa ke swah-loka atau alam dewata yang juga disebut swarga , karena belum melakukan upacara peningkatan kesucian yang terakhir, yaitu upacara mamukur atau nyekah . Mamukur artinya menuju alam atas, yakni alam di atas bhuwah-loka , yaituswah loka. Swah loka juga disebut swarga yang artinya berada di dalam swah. Upacara mamukur adalah upacara peningkatan kesucian atman menjadidewa pitara , artinya pitara yang telah berada di alam-dewa, yaitu swah-loka . Karena dewa pitara yang sudah penuh kesuciannya berada di alam-dewa dan juga berfungsi membimbing serta melindungi kehidupan keturunannya, maka dewa pitara juga diberikan sebutan Batara kawitan , sebagaimana yang dipuja di palinggih kamulan atau kawitan oleh keturunannya. Jadi Atman dalam tubuh dibungkus (dibelenggu) oleh 3 (tiga) hal, yaitu : sthula sarira (badan kasar), suksma sarira (badan halus) dan terakhir Karma Wasana (perbuatan selama hidup). Tujuan Pitra yadnya adalah melepaskan Atma dari belenggu tersebut. Pelepasan Atma dari ikatan sthula sarira disebut dengan”Sawa/Asti-Wedana (Sawa Wedana=dibakar, Asti Wedana=dikubur lalu dibakar)”, hal ini dikenal dengan Ngaben, sementara pelepasan ikatan suksma sarira disebut dengan ”Atma Wedana” atau Nyekah/Memukur, proses berikutnya adalah ”Ngelinggihang Dewa Hyang” yang diawali dengan ”Me-Ajar-ajar”. Prosesi Pitra Yadnya dari penguburan/pembakaran sampai Ngelinggihang Dewa Hyang atas Atman ini berdasarkan pada sastra agama, apakah Atman ini akan menjadi Dewa Hyang kita semua tidak tahu tetapi kita perlu meyakini ajaran agama, yang lebih penting lagi kita pratisentana sudah melakukan sesuatu yang baik yaitu ”bhakti”. Pada akhirnya sastra agama juga menyebutkan, bahwa setelah lebur/lepas dari Sthula dan Suksme Sarira, maka yang tertinggal adalah ”Karma Wasana” dan inilah yang akan menentukan reinkarnasi atau tidaknya Atman tersebut.
Ngaben menurut keadaan jenasah ada 3 (tiga), yaitu :
Sawa Wedana : Ngaben yang layon/jenasahnya langsung dibakar/kremasi
Asti Wedana : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang diaben terlebihdahulu ditanam disetra, setelah beberapa lama (umumnya setelah satu tahun) tulang belulangnya diangkat untuk diaben.
Svasta : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang mau diaben tidak ditemukan (pejah ring sunantara).
Proses ”PITRA YADNYA”
Proses Ngaben Sawa Wedana, Asti Wedana, dan Svasta, secara umum adalah sbb :
Sawa Wedana :
- Nyiramang Layon (prosesi Nyiramang layon seperti : mekerik kuku, mesigsig, dll termasuk tirta selengkapnya)
- Layon digulung dengan kain putih yang sudah dirajah, diletakkan di bale gede/saka roras atau tempat yang telah disediakan.
- Sampai pada hari ”pengutangan” maka dilaksanakan ”Pelebon” diawali dengan Upacara ”Ngaskara” dan Caru Pengelambuk, lalu layon dinaikkan diusungan lalu berangkat ke setra.
- Dalam perjalanan disebar ”sekar ura (beras kuning,uang kepeng/bolong,daun temen, kembang rumpai)”, maksudnya perpisahan yang meninggal dengan keluarga agar keluarga selalu diberikan kesejahtraan & kemakmuran.
- Pada persimpangan (perempatan) dilakukan pemutaran/mesirig sebanyak tiga kali kekiri/berlawanan arah jarum jam (prasawya) dengan filosopi perpisahan antara yang meninggal dengan desa pakraman/masyarakat Biasanya diiringi Baleganjur untuk membangunkan unsur Panca maha bhuta.
- Setelah sampai disetra juga ditempat pembakaran/pembasmian, dilakukan lagi pemutaran/mesirig, lalu usungan diturunkan.
- Ngaturang piuning ke Pura Dalem dan Prajapati dengan menyertakan ”Daksina Linggih” sebagai perwujudan atma yang meninggal.
- Layon ditempatkan ditempat yang disediakan, dibuka, diberi/diperciki tirta Penglukatan, pembersihan, kahyangan tiga, kawitan, dan terakhir pengentas. Dilanjutkan dengan Ngayabang banten yang diletakkan didada berupa daksina tadi dengan kelengkapannya, barulah dilakukan”pembakaran”.
- Sisa pembakaran berupa tulang/galih dipungut dan ditaruh pada sesenden/dulang tanah sebagai alas penguyegan lalu ditumbuk dan ditaruh pada nyuh gading yang sudah dikasturi sebagai wujud ”Puspa Asti”. Sisa galih dibersihkan dengan sarana kukusan dan kain kasa putih selanjutnya dibentuk/direka shg menyerupai orang-orangan diatas kain putih yang telah dirajah beralaskan klasa. Rekaan tersebut diisi kwangen 22 (dua puluh dua)ditaruh pada: ubun ubun, mata, telinga, dahi, hidung, mulut, kerongkongan, puser, huluhati, perut, kemaluan, pantat, kaki, tangan, jari-jari.
10. Selanjutnya ”Puja Utpati” yang dilakukan oleh Sulinggih/Pandita untuk memberi tuntunan serta menghidupkan dan mempertemukan rekaan/Cili (Badan wadag) dengan Puspa Asti (Atma).
11. Sisa galih dibungkus dengan kain putih berbarengan penempatannya dengan alat/sarana pembersihan dan disertakan dalam proses Nganyut. Sehingga proses akhir dari rangkaian upacara ini adalah ”Upacara Nganyut” ke Segara atau sungai yang bermuara kelaut.
12. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara ”Ngangkid”, kembali dibentuk berupa Puspa Lingga atau Daksina Linggih.
13. Dilanjutkan dengan ”Ngerorasin” di Pura Dalem dimana Puspa Lingga tersebut dibuka ”Keampigang” bila upacara sampai disini.
14. Pembersihan terakhir adalah diadakan ”Pecaruan” di pekarangan rumah, Mrajan, serta Mrajan dadia.
Untuk ”Asti Wedana dan Svasta” perbedaan kalau Asti Wedana ada ngangkid tulang belulang sementara Svasta Wedana untuk sawa diganti dengan ”Tirtha (Toya Carira). Prosesnya adalah sbb :
1. Diawali membuat ”Tegteg” yaitu bentuk manusia terbuat dari kayu cendana atau cukup berupa ”Daksina Pengawak” dihias sedemikian rupa diberi gambar orang sesuai jenis kelamin dan diberi pipil nama.
2. Tegteg diiring ke Pura dalem tujuannya matur piuning serta memohon Atma yang akan diaben. Acara ini cukup oleh Pinandita/Pemangku.
3. Dilanjutkan dengan upacara ”Ngulapin” di Pura Mrajapati.
4. Selanjutnya ”Ngeplugin” diatas kuburan, dengan memukulkan ”upih (pelepah daun pisang) sebanyak tiga kali.
5. Upacara ”Ngangkid/Ngendagin” dipimpin oleh Pandita/Sulinggih, bila telah dibongkar dan ditemukan tulang belulang, maka diletakkan uang kepeng (200 kepeng) yang diikat dengan dimana ujungnya dipegang oleh pratisentana sebagai ungkapan semua keluarga siap melaksanakan upacara.
6. Tulang belulang diangkat dan ditempatkan di Bale Panusangan/pesiraman dibuat setinggi ulu hati dari bahan kayu dadapdan diberikan leluwur kain putih yang telah dirajah. Tulang belulang dibersihkan dan dibungkus dengan kain putih hal ini disebut ”Ngringkes” lalu diletakkan disuatu tempat yang disediakan masih diareal setra.
7. Tegteg diletakkan diatas bungkusan tulang belulang tersebut lalu diupacarai sebagai layaknya sawe utuh lalu ditempatkan di ”Tumpang Salu”.
8. Proses selanjutnya adalah sama seperti ”Sawa Wedana (point 8) berupa pembakaran tulang belulang diawali dengan ”Ngaskara” dan seterusnya sampai ”Ngelinggihang Dewa Hyang”.
Ngelunggah (Ngerapuh) :
Anak yang telah ”tanggal gigi” diperlakukan seperti Pitra Yadnya orang dewasa, sedangkan untuk anak/bayi yang ”kurang dari tigang sasih” dilakukan dengan ”mependem” saja, bila dilakukan upacara atiwa-tiwa disebut dengan ”Ngelunggah atau Ngerapuh”. Proses Ngelunggah adalah :
- Piuning ke Pura Dalem
- Piuning ke Mrajapati
- Piuning ke Sedahan Setra
- Piuning di Bambang rare
- Banten kepada roh bayi dan tirta pengerapuh.
Prosesnya: dengan banten yang sudah tersedia dan dipimpin oleh Pemangku, dilakukan pemujaan agar roh sang bayi disucikan kembali, selanjutnya diperciki tirta yang telah dimohon pada : Mrajapati, Kemulan, Kahyangan tiga, dan lainnya, terakhir bambang diratakan dan semua banten dipendem.
Ngelanus
Bila Upacara Pitra Yadnya dilakukan ”tanpa adanya jeda waktu” maka disebut dengan”Ngelanus atau Numandang Mantri”. Ngelanus ini mulai banyak dilakukan karena lebih effisien dan lebih cepat, prosesnya adalah :
Setelah ”Nganyut”, seketika itu :
mapegat mangening-ngening, mecaru, ngerorasin, nyepuh, dilanjutkan dengan ”Penyekahan”, ngalap don bingin, ngajum sekah.
Setelah Ngadegang sekah sebagaimana mestinya, selanjutnya di Pralina (kageseng) dan kembali diwujudkan dengan Ngadegang Puspa Lingga diakhiri dengan Nganyut ke Segara.
Selanjutnya Ngulapin Sang Dewa Pitara untuk dilinggihkan di Pemrajan dan bila sudah waktunya diadakan me-ajar-ajar, barulah dilinggihkan sebagai Dewa Hyang pada sanggah Mrajan Dadia, Pemaksan (Ngwangi) jika diperlukan.
Kajang dan Berbagai Tirta
Semua bentuk Pitra Yadnya patut menggunakan ”kain kajang” selengkapnya sesuai dengan kepatutan masing-masing, juga tirta tunggangdari Bhatara Kawitan/leluhur, juga ketika melakukan Nyekah/Memukur (Atma Wedana) perlu menggunakan Tirta Pingit serta Damar Kurung, agar semakin sempurna prosesi Pitra Yadnya tersebut. Hal yang selalu ada pada Pitra yadnya adalah : Tirta Panembak, Tirta pemanah, Tirta Pengentas, Tirta pambersihan, serta tirta lainnya.
a. Tirta panembak digunakan saat memandikan Layon, tirta ini mengandung makna membersihkan jasad/angga sarira orang yang meninggal dari kotoran-kotoran lahir batin. Toya ini diperoleh pada tengah malam dan mengambilnya pertama dari hilir ke hulu secepat kilat. Saat memandikan mayat, tirta panembak akan dipergunakan dari hulu ke hilir.
b. Tirta pangelukatan tirta ini mengandung arti bahwa orang yang diabenkan diruwat mala pataka- nya oleh tirta ini.
c. Tirta pamanah . Satu jenis air suci yang diperoleh dari sumber air suci pada waktu upacara ngening. Orang-orang mencari air suci dengan membawa “panah” yang dibuat dan diberikan mantra oleh pendeta. Air suci itu akan dipakai saat jenazah dimandikan.
d. Tirta pangentas . Kata pangentas berasal dari tas yang berarti putus. Dalam upacara Pitra Yadnya ada istilah tiuk pangentas yang artinya pisau untuk memutuskan tali pengikat gulungan jenazah. Tirta pangentasmerupakan air suci yang dibuat dengan mantra sulinggih sang pamuput , bertujuan memutuskan ikatan purusa dengan prakerti sang mati guna dikembalikan kepada sumbernya masing-masing. Pada pelaksanaan Pitra Yadnya yang besar, tali pengikat purusa dan prakerti dilukiskan sebagai naga banda yang berarti naga pengikat. Dalam lontar Tutur Suksma ada disebutkan bahwa yang dimaksud naga adalah bayu atau energi yang muncul sebagai akibat menyatunya purusa dan prakerti . Tanpa tirtapangentas itu, ikatan purusa dengan prakerti tak akan bisa diputuskan. Bagi orang-orang yogin, mereka telah dapat memutuskan sendiri ikatan dengan kekuatan yoganya sehingga mereka bisa melakukan moksa angga . DalamYoga Kundalini dikemukakan, apabila yoganya telah mencapai titik kulminasi maka akan muncul panas dan dari panas inilah muncul api yang membakarstula –nya. Itu sebabnya, tirta pangentas sangat prinsipil kehadirannya dalam upacara Pitra Yadnya.
e. Tirta kakuluh , bermakna sebagai pemberian restu kepada orang yang di upacara Pitra Yadnya.
Posting Komentar