Dalam aktifitas Panca Yadnya termasuk juga ”Pitra Yadnya”, maka selalu ada 3 (tiga) hal pokok yang saling terkait, yaitu ”Pemuput”(Pandita/Wiku, Pemangku, atau lainnya), ”Sarati Banten”(yang menyiapkan Banten/Upakara), dan”Yajamana” (Sang meduwe karya).
Pandita/Wiku/Sulinggih :
Sebutan universal untuk Brahmana tanpa memandang asal keturunannya, khususnya yang dari Bali sebutannya bermacam-macam, yaitu : Pedanda, Mpu, Shri Mpu, Bhagawan, Rsi, dan Bhujangga. Umat Jawa lebih senang menyebut Pandita dengan sebutan ”Romo”. Di India sendiri yang umum sebutannya Rsi dan Maha Rsi, walaupun sering kita dengar sebutan orang suci dengan Baba, Maharaj, Pandit, dll. Pada masa Majapahit menguasai Jawa Timur dimana sekitar tahun 1350 menempatkan wakil raja (Adipati) di Bali yang disebut ”Dalem” yang pertama Dalem Kresna Kepakisan. Pada waktu ini telah berakhir kekuasaan raja-raja Warmadewa sebelumnya. Pada masa Warmadewa (Raja Udayana dan keturunannya) sampai kepada Dalem, Pandita kerajaan adalah Panca Tirta dan keturunannya seperti Sapta Pandita, juga Purohita dari keluarga Bhujangga. Dalem juga keturunan Panca Tirta karena Ayah Dalem adalah Mpu Soma Kepakisan yang adalah keturunan (cucu) Mpu Bharada terkecil dari Panca Tirta. Para Mpu dan Bhujangga ini selalu menjadi rohaniawan kerajaan, sebutan yang umum untuk mereka dimasa itu adalah MPU.
Fase penting lainnya adalah menjelang runtuhnya majapahit (Abad XV) karena masuknya Islam di Majapahit, pada tahun 1489 Mpu Nirartha (yang kemudian dikenal dengan Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wau Rauh), datang ke Bali dan singkat cerita menjadi Rohaniawan kerajaan yang waktu itu dipimpin Dalem Waturenggong/Baturenggong. Sejak itu peran para Mpu keturunan Sapta Pandita dan Bhujangga digantikan oleh Mpu Nirartha dan keturunannya. Setelah jaman kemerdekaan dan sesudahnya, maka Pandita sudah tidak monopoli lagi oleh keturunan Mpu Nirarta karena disamping leluhur sebagian besar orang Bali adalah Pandita, maka ajaran Catur Warna juga menguatkan, bahwa sesuai Guna (bakat/gen) dan Karma (lakunya), maka siapapun berhak menjadi Pandita, namun untuk di Bali tidak mudah aplikasinya karena Pandita yang seharusnya sudah bebas dari ikatan Soroh/Clan masih dikotakkan minimal dari Abhisekanya, seperti keturunan Ida Bagus kalau menjadi Pandita disebut ”Pedanda” (Danda=Tongkat), keturunan Dalem jika menjadi Pandita disebut ”Bhagawan”, I Gusti menjadi ”Rsi, dan diluar itu Mpu (untuk Pasek), Sire Mpu (untuk Pande), dan Bhujangga, kedepan kita perlu menyadari, bahwa mereka semua adalah sama-sama Pandita yang bisa diminta Muput.
Mpu, Bhagawan, Rsi, Bhujangga, Dukuh, adalah nama Rohaniawan yang sejak lama dikenal di Nusantara, Pedanda hanya dikenal di Bali yaitu dari keturunan Mpu Nirartha. Agar umat tidak bingung, maka sebut saja semua Brahmana ini dengan sebutan ”Pandita”, ini adalah sebutan yang universal. Jika sedang menghadap (Tangkil) sebut saja ”Nak Lingsir” untuk Pandita dari Bali, ini adalah bahasa penghormatan yang mencerminkan ”kedekatan” antara umat dengan Sang Brahmana, karena prinsif ”Jun ngalih pancuran (Jun/tempat air- mencari mata air) harus dijadikan pegangan bagi umat untuk meningkatkan kesadaran rohani. Dari sisi ciri-ciri Pandita, disamping Me-prucut, maka biasanya bawa tongkat yang panjangnya kalau beliau berdiri sampai sekitar pusar, kalau duduk tongkat tersebut sama dengan tinggi beliau. Setingkat dibawah Pandita adalah ”Jro Gede” yang sekarang diganti sebut menjadi ”Jro Bhawati /Ida Bhawati (Bhawa=perut/rahim/belum lahir jadi Brahmana)”. Rambut beliau juga panjang cuma tidak diikat diatas kepala (ubun-ubun) tetapi dibelakang. Satu tingkat dibawah Ida Bhawati adalah ”Pemangku (sebutan untuk umat Bali), Wasi (umat Jawa) dan bahasa universal adalah ”Pinandita” yang berada pada tingkat ”Eka-Jati”. Menurut ageman Ke-Pemangkuan untuk rambut sebenarnya ditentukan ”Panjang” namun dijaman moderen ini Para Pinandita kebanyakan tidak berambut panjang, tentunya ini sudah dipertimbangakan oleh Pinandita tersebut atau Para Pandita dengan dasar sastra yang benar.
Pemaparan singkat tentang Pandita tujuannya agar umat tidak bingung atau takut-takut ketika akan melaksanakan Pitra Yadnya dan kemana harus tangkil, jadi pertama carilah Pandita yang dikenal dan merasa cocok karena factor atmanastuti (keneh/kecocokan hati) sangat penting untuk suksesnya suatu upacara yadnya, bisa tangkil ke Pedanda, Mpu, Rsi, Bhagawan, Bhujangga, dan Dukuh karena semuanya punya wewenang yang sama untuk muput Pitra Yadnya.
Sarati Banten :
Banten yang juga berarti Enten atau sadar/ingat, bagi umat Hindu etnis Bali, mengajarkan kita agar selalu ingat dengan Hyang Widhi. Sebagai sarana ingat ini, maka wujud ”Banten” adalah merupakan medianya. Banten juga disebut “Upakara” (Upa=dekat, Kara=tangan ), bermakna : Mendekatkan diri dengan tangan dicakup atau kreasi persembahan, seperti : bebantenan (Canang, pejati, dll). disamping itu ada “Upacara” (Upa=dekat dan Cara=Harmonis ) bermakna : Mendekatkan diri kepada Hyang Widhi untuk terciptanya ke harmonisan/kedamaian, melalui aktifitas seperti : Piodalan, Pitra Yadnya, dll. Banten/upakara hanyalah simbul, juga bermakna ”buah pikiran yang baik”, seperti disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakrti:“sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda-bhuana” (artinya: semua jenis banten/upakara adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung/alam semesta). Banten disiapkan atau dibuat oleh orang atau fihak yang disebut dengan ”Sarati”, jadi : Sang Sarati Banten menyiapkan segala sarana upakara yadnya, Sang Yajamanamenyiapkan dana atau kebutuhan lain yang terkait dengan upakara tersebut, lalu Sang Pandita/Wiku- muput, sehingga fungsi masing-masing dapat berjalan baik dan menghasilkan Labda Karya atau kesuksesan proses upacara yadnya tersebut. Bagaimana kalau fungsi tersebut digandeng seperti Pemuput adalah Yajamana? Itu bisa saja apalagi jika Yajamana tersebut seorang Pemangku atau bahkan Pandita. Bagaimana kalau Yajamana juga adalah Sarati Banten? Hal itupun bisa terjadi artinya Sang Yajamana menggunakan tenaga masyarakat dan keluarga untuk membuat banten. Bagaimana kalau Pandita adalah juga Sarati Banten? Ini juga ada terjadi dimasyarakat, namun untuk yang terakhir ini sering menjadi sorotan karena masyarakat melihatnya berbeda, umumnya seorang Pandita seharusnya hanya ”Muput” tidak ada lagi berurusan dengan pembuatan banten yang sering diidentikkan dengan busines banten (Gria busines banten)!, sebelum menyatakan demikian mari kita membuka wawasan kita akan situasi bagaimana jika Pandita juga melakukan aktifitas pembuatan banten, walaupun tentu yang membuat para pengayah Pandita di Geria tersebut, apakah hal tersebut dibenarkan ?
Masih teringat dalam memori kita, bagaimana beberapa tahun lalu (sekitar tahun 1960-1980) masyarakat berkeluh kesah ketika melakukan Upacara Pitra Yadnya dimana selalu diikuti oleh ngelus dada karena biayanya yang tinggi, dimana bisa mencapai minimal 50juta untuk ukuran sederhana. Pitra yadnya yang menjadi kebutuhan pokok umat Hindu tetapi dalam prakteknya tidak mampu dilakukan karena biayanya tinggi, maka jadilah banyak Sawa yang belum dilakukan Pitra Yadnya atau kalaupun harus dilakukan melalui menjual sawah atau sumber dana lainnya. Ketika itu image masyarakat, bahwa Pandita sebagai pedagang sangat melekat dan terbawa sampai sekarang. Di era sekarang muncul kemudian usaha-usaha penyederhanaan banten dengan dasar sastra yang benar tidak sekedar menyederhanakan, artinya mana yang pokok dan mana hanya rangkaian (carangnya) saja bisa dibedakan dengan jelas sehingga biaya tidak tinggi. Dengan situasi itu dengan belasan juta saja saat ini umat sudah dapat melakukan Pitra Yadnya secara baik dan memenuhi dasar sastra yang benar. Kenapa biayanya bisa menjadi lebih murah? Intinya memang karena adanya penyederhanaan itu dan itu karena Pandita tersebut banyak yang juga memiliki tukang banten. Maksudnya begini, saat ini banyak terjadi Pandita melakukan juga fungsi Sarati Banten sekali lagi ini pasti dilakukan oleh pengayah Sang Pandita, seorang Pandita tentu mengerti mana yang pokok dan mana yang bisa ditiadakan dan bisa selengkap-lengkapnya jika Sang Yajamana ingin demikian karena misalnya memiliki kemampuan dana yang baik. Bayangkan seandainya jika kegiatan Sarati Banten ini dilakukan murni oleh tukang banten, maka tukang banten akan selalu berkata ”mule keto” tidak berani mengurangi atau melebihkan karena standard yang diketahui sebatas itu, jadi tukang banten ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Tetapi jika Pandita mempunyai tukang banten, maka tanggung jawab penyederhanaan itu ada pada Pandita sementara pengayah hanya membuat banten sesuai dengan arahan Pandita. Jadi Pandita yang memiliki tukang banten justru memberi kebaikan bagi perkembangan yadnya. Seorang Pandita juga bisa menerapkan subsidi silang, artinya ketika ada umat yang mampu maka bisa saja biayanya lebih tinggi dan ketika ada umat yang kurang mampu bisa diberikan harga yang lebih murah. Sekilas seperti ada aktifitas busines diarea Pandita ini namun sesungguhnya ini hanya ”pengaturan” agar semuanya berjalan baik. Ada seorang Pandita yang berceritra pada penulis, didatangi umat yang menyerahkan uang 6juta dan meminta dibuatkan upakara Pitra yadnya sampai selesai. Seorang Pandita yang menyadari, bahwa dirinya adalah pengayom umat, maka tidak akan menolak permintaan umat ini dan jadilah Pitra yadnya dengan dana 6juta tersebut dilaksanakan tanpa mengurangi ketentuan sastra yang benar, biayanya tentu lebih dari 6Juta namun itu urusanya Pandita tersebut, ini yang dimaksudkan dengan pengaturan untuk kebaikan bersama. Jika setiap umat yang datang ke Pandita berlaku seperti diatas, maka akan kasihan sang Pandita, untuk hal ini umat perlu mengerti ajaran Rsi yadnya, bahwa kewajiban kita untuk me-punia kepada Pandita karena mereka tidak lagi berpenghasilan, jadi kewajiban umat terutama warga yang mengangkat Pandita untuk memenuhi kebutuhan mereka, kalaupun pandita mendapatkan Sesari atau ada kelebihan dari pembuatan banten itu bukan dalam pengertian busines, umat tetap punya kewajiban untuk melakukan Rsi yadnya. (Bhagawadgita III.13, menyebutkan : ”Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh Dewa-Dewa karena yadnyamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya sesungguhnya adalah pencuri”). Dengan demikian apakah tidak ada Pandita yang menjalankan praktek menjual banten dengan standard tinggi sehingga menjual mahal kepada siapapun? Mungkin saja hal itu ada, tetapi itu bukan urusan kita (Walaka) untuk mengkritisi, itu urusan Nabe-nya atau urusan Paruman Pandita, jangan sampai para Walaka ini ikut menghujat Pandita, itu bukan sesana atau prilaku yang benar. Pandita sekarang ini menurut pengamatan penulis mempunyai fungsi mendorong terciptanya peningkatan pemahaman Tattwa, salah satunya melalui peningkatan pemahaman akan hakekat banten/upakara sehingga dengan pemahaman itu umat tidak lagi melakukan ”Tamasika Yadnya” atau Yadnya yang dilakukan dengan ketidak fahaman akan maknanya, juga jangan sampai melakukan ”Rajasika Yadnya”yaitu yadnya hanya untuk pamer, prestise, namun lakukanlah ”Sattwika Yadnya” yaitu yadnya yang didasari oleh pemahaman , keikhlasan, dan kesederhanaan..
Terkait dengan Sarati Banten ini, maka jika akan melakukan Pitra Yadnya datanglah pertama kepada Pandita, beliau akan mengatur langkah selanjutnya, seperti : Negem Dewase, tingkatan upacara & upakara (nista,madya,utama) disesuaikan dengan keuangan, Ngelanus atau sampai ngerorasin atau sampai nyekah, dan seterusnya, nah.. jika Pandita mempunyai Sarati banten silahkan lansung diselesaikan di gria ibaratnya “satu pintu”. Kadang ada umat yang masih membawa dresta dalam pelaksanaan Pitra Yadnya sehingga ada sebagian banten yang disiapkan secara dresta tempat tinggalnya, itu tidak apa-apa disampaikan kepada Pandita karena pasti akan diberikan solusi sesuai dengan keyakinan kita selama itu benar. Jika pertama umat datang kepada Sarati banten disamping resiko akan lebih mahal juga perlu diberitahu kepada Pandita atau pengiring Pandita hal bebantenan yang sudah dipesan, tetapi sekali lagi dengan cara ini akan lebih boros dan lebih rumit koordinasinya dibandingkan Pandita menyiapkan upakara/banten sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan oleh beliau, itu akan lebih memantapkan pemujaan saat dilangsungkan.
Yajamana :
Yajamana adalah Sang Meduwe Gawe/Karya, yaitu fihak yang keluarganya akan dilakukan Pitra Yadnya. Bagi Yajamana yang utama adalah“ketulusan” terhadap apa yang akan dilakukan karena aktifitas Pitra Yadnya adalah bentuk Bhakti kita pada orang tua (Guru rupaka) sesuai ajaran Catur Guru, juga bentuk Bhakti atau sungkem kita kepada yang menyebabkan kita ada atau yang sedarah dengan kita. Faktor berikutnya adalah kesiapan dana, jika kita mampu atau mempunyai keuangan yang cukup artinya diluar Pitra Yadnya kita masih mampu membina kehidupan dengan harta benda yang ada, maka silahkan melakukan dengan “utamaning-utama”, namun jika kita belum mampu jangan memaksakan diri apalagi sampai meminjam untuk Pitra yadnya itu tidak dibenarkan. Jika keuangan terbatas lakukan secara“Nistaning nista”, hal itu tidak apa karena utama dan nista bukan bhaktinya tetapi kesiapan materinya. Tidak ada jaminan, bahwa yang utama akan masuk swargan dan yang nista tidak, itu bukan ukurannya. Pitra yadnya adalah kewajiban kita sedangkan karma wasana seseorang bersifat independent artinya yang akan melekat pada Atman setelah Ngaben dan Nyekah/memukur adalah Karma wasana (hasil perbuatan), inilah yang menentukan kelahiran kembali (re-inkarnasi/samsara/numitis) bagi yang bersangkutan. Sekarang ini ada praktek Ngaben Massal atau Ngaben Gotong Royong, dan jika perlu mengikuti didalamnya asalkan dengan ketulusan hati, atas asung Hyang Widhi, maka bhakti dari pratisentana akan mendapatkan hasil yang baik. Yang paling penting jangan sampai melakukan Pitra yadnya dengan ketidak tulusan ataupun dalam pergolakan batin.
Posting Komentar