BREAKING NEWS

Selasa, 31 Juli 2012


Yasya sarve samarambhah
kama samkalpavarjitah.
Jnanagni dagdhakarmanam
tam ahuh panditam budhah. (Bhagavadgita.IV.19).

Maksudnya:
Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya (Niskama Karma), kepercayaannya dinyalakan oleh api ilmu pengetahuan (Jnyana Agni). Kepada ia diberikan gelar pandita oleh orang-orang bijaksana.


Mpu Kuturan tokoh spiritual Hindu di abad ke-11 Masehi adalah salah seorang tokoh yang berbuat dengan landasan niskama karma. Artinya, berbuat tanpa pamerih akan hasilnya. Hal ini dilakukan karena Mpu Kuturan sudah sangat yakin akan ajaran Hukum Karma. Setiap perbuatan baik sudah dapat dipastikan akan membuahkan hasil yang baik. Karena itu, Mpu Kuturan hanya berkonsentrasi pada berbuat baik dan benar untuk kepentingan umat manusia dalam artian yang seluas-luasnya.

Berbuat baik dan benar itu dilakukan karena keyakinan Mpu Kuturan sudah demikian disinari oleh api ilmu pengetahuan yang telah beliau capai. Mpu Kuturan tidak kawin karena beliau menempuh hidup Sukla Brahmacari. Jadinya semua umat manusia itu dianggap sebagai saudaranya. Inilah sesungguhnya perilaku seorang yang tepat disebut Pandita.

Pura Silayukti adalah Pura Pasraman Mpu Kuturan. Mpu Kuturan-lah salah satu tokoh spiritual Hindu di masa lampau yang sangat tepat diberikan gelar Pandita ahli yang juga disebut Brahmanasista dalam pustaka Manawa Dharmasastra. Mpu Kuturan yang nama prinadi beliau Mpu Rajakerta. Beliaulah yang pernah menjabat Senapati Kuturan di Bali pada abad ke-11 Masehi.

Mpu Rajakerta pada awalnya sebagai kesatria karena menjabat Senapati Kuturan. Setelah selesai menjabat Senapati Kuturan barulah beliau sebagai Bhagawanta Kerajaan Bali dengan gelar sebagai Mpu. Selanjutnya lebih populer dengan sebutan atau abhiseka nama Mpu Kuturan dengan asrama di Pura Silayukti.

Di Pasraman Pura Silayukti ada empat kompleks tempat pemujaan. Di bagian utara adalah pura sebagai tempat pemujaan Mpu Kuturan. Beliau dipuja di Meru Tumpang Tiga menghadap ke selatan. Meru Tumpang Tiga inilah sebagai pelinggih utama di kompleks Pura Pasraman Mpu Kuturan. Di barat agak ke utara dari Pura Pasraman Mpu Kuturan ini terdapat Pura Taman Beji sebagai tempat memohon tirtha sebagai sarana utama pada saat upacara di Pura Pasraman Silayukti.

Di kompleks bagian selatan dari Pura Pasraman Mpu Kuturan terdapat kompleks pura sebagai tempat pemujaan Mpu Bharadah. Di pura ini Mpu Bharadah dipuja di Meru Tumpang Tiga juga, cuma menghadapi ke barat. Sedangkan tempat meditasi Mpu Kuturan sebagai kompleks keempat terletak di bagian timur bukit Silayukti agak turun ke bawah menghadap ke timur di mana akan kelihatan laut yang membiru.

Kalau saat bulan purnama dengan berpadu pada pemandangan laut kita melakukan meditasi di tempat ini sungguh sangat menggetarkan spiritual kita. Karena keadaan alam ciptaan Tuhan itu demikian mempesona bagi mereka yang memiliki minat spiritual.

Mpu Kuturan adalah salah seorang dari lima orang suci yang berjasa menata kehidupan keagamaan Hindu di Bali. Lima orang suci yang bersaudara itu disebut Panca Pandita atau Panca Tirtha. Beliau itu adalah Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah. Yang paling banyak berjasa menata kehidupan sosial religius Hindu di Bali adalah Mpu Kuturan. Hal ini dinyatakan dalam berbagai pustaka kuna yang ditulis dalam daun lontar.

Dalam Lontar Usana Dewa dinyatakan Mpu Kuturan-lah yang mengajarkan cara-cara mendirikan tempat pemujaan atau kahyangan seperti Kahyangan Jagat di Bali. Dalam Lontar Kusuma Dewa juga dinyatakan Mpu Kuturan yang mengajarkan tentang pendirian Pura Sad Kahyangan di Bali dengan landasan konsepsi Sad Winayaka.

Dalam lontar yang berjudul ''Mpu Kuturan'' juga dinyatakan Mpu Kuturan yang mengajarkan tentang pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Penataan Pura Besakih lebih lanjut juga dilakukan oleh Mpu Kuturan. Karena jasa beliau itu Mpu Kuturan distanakan di Meru Tumpang Sembilan di Pura Peninjoan. Pura Peninjoan ini termasuk kompleks Pura Besakih.

Menurut Lontar Babad Bendesa Mas dan Lontar Kusuma Dewa, antara Pura Kentel Gumi, Pura Dasar di Gelgel dan Pura Goa Lawah yang mempunyai hubungan historis juga sama-sama didirikan oleh Mpu Kuturan. Karena jasa-jasa beliau itu di berapa Pura Kahyangan Jagat, Mpu Kuturan dimuliakan dalam Pelinggih Manjangan Saluwang. Demikian hampir di setiap pemujaan keluarga Hindu di Bali yang disebut Sanggah Gede atau Merajan Agung, Mpu Kuturan juga dimuliakan di Pelinggih Manjangan Saluwang.

Jadinya Mpu Kuturan sangat berjasa dalam menata kehidupan manusia dan alam Bali berdasarkan ajaran Hindu. Hal inilah menyebabkan Bali sampai mendapat julukan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Kalau kita perhatikan Mpu Kuturan bukan milik suatu wangsa atau warga tertentu.

Yang patut kita renungkan lebih dalam tentang pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali sebagai pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti. Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti bukan untuk menyatukan adanya sekte-sekte Hindu yang bermusuhan. Para guru besar yang ahli ilmu purbakala di Bali yang pernah saya tanyakan menyatakan bahwa tidak ada catatan sejarah bahwa sekte-sekte Hindu di Bali pernah bermusuhan, apalagi berperang.

Tujuan Mpu Kuturan mengajarkan pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti adalah untuk menguatkan umat dalam melakukan upaya Utpati, Stithi dan Pralina. Utpati artinya giat menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan. Stithi artinya dengan sungguh-sungguh memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi.

Pralina maksudnya meniadakan sesuatu yang sepatutnya dihilangkan. Pralina bukan berarti merusak. Misalnya menghilangkan kebiasaan mabuk, apalagi saat merayakan hari raya keagamaan. Misalnya menghilangkan kebodohan dan kemiskinan dengan cara-cara yang baik, wajar dan benar. Itu juga tergolong kegiatan hidup yang termasuk pralima. Melakukan upaya Upati, Stithi dan Pralina tidaklah segampang teorinya. Melakukan hal itu perlu ada tuntutan Tuhan melalui pemujaan Dewa Tri Murti di Kahyangan Tiga.

* I Ketut Gobyahsumber: BaliPost

Sabtu, 28 Juli 2012

Kata Rwa Bhinneda sangat akrab di telinga dalam hidup dan kehidupan masyarakat Hindu. Rwa Bhinneda dalam pemahaman masyarakat, sering diartikan suatu sistem yang memutar kehidupan berkrama (bermasyarakat). Dengan kata Rwa Bhinneda ini, suatu perbuatan atau keadaan, maupun waktu yang senantiasa bertentangan. Dengan pertentangan inilah, hidup ini berputar.

Sangat ironi, termasuk mencuri, membunuh dan sejenisnya, ini sering dikatakan sebagai bagian Rwa Bhinneda, sehingga hidup ini berputar. Secara logika, siapapun mänusia itu, baik polisi, tentara, penegak hukum politisi dan lain sebagainya, tentu tidak berharap ada pencurian, pembunuhan, perampokan dan lain-lain. Padahal bilamana dicermati, bahwa ketika tidak ada pencurian, pembunuhan, perampokan dan lain-lain, kehidupan ini tetap berputar.

Tentu terjadi pergeseran pemahaman dalam masyarakat tentang Rwa Bhinneda.
Sejatinya Rwa Bhineda, tidak berhubungan langsung dengan perbuatan atau karma. Rwa Bhinneda memiliki hakikat yang sangat rahasia dan esensial. Sehingga tidak semua yang nampak bertentangan disebut Rwa Bhinneda.

Secara harfiah, Rwa Bhinneda terdiri dan 2 (dua) kata, yaitu Rwa dan Bhinneda, yang mengandung arti Rwa berarti 2 (dua) sedangkan Bhinneda berarti dua hal yang berbeda.Berangkat dengan pemahaman ini, lalu orang mengartikan, bahwa setiap 2 (dua) hal yang berbeda serta nampak bertentangan diistilahkan dengan Rwa Bhinneda. Padahal berbicara masalah Rwa Bhinneda, pemahaman dan pemaknaannya tidak hanya terlihat dalam konteks arti secara harfiah.

Rwa Bhinneda, sejatinya tidak hanya membahas yang nampak secara harfiah. Rwa Bhinneda membahas melampaui batas pemikiran manusia. Artinya pembahasannya menjangkau hakikat dan, sensial tentang kehidup yaitu Ang dan Ah.
Ang dengan Ah adalah induk (bapak dan ibu) aksara.Sebagaimana dalam Siwagama, Ang Ah inilah yang dimaksud dengan Sanghyang Rwa Bhinneda, sebagai induknya (bapak-ibu) nya aksara.Ang adalah angkasa, Ah adalah prethiwi. Akasa adalah bapak, sedangkan prethiwi adalah ibu. Bapak-ibu Juga menyandang status Purusa-Pradana.
Diniskalakan dalam bentuk mantra maka bapak ibu berturut-turut berwujud Om (bapak) Swaha (ibu)/ Ong (bapak) Swadhah (ibu), sebagaimana contoh berikut:

Om Sudhamam Swaha
Om Ati Sudhamam Swaha
Tangan kanan ini suci berkat tuntunan bapak-ibu
Tangan kiri ini suci berkat tuntunan bapak-ibu

Ong namo wah pitaro suksma yenamah swadah
Ong namo wah pitaro turya yenamah swadah
Ong namo wah pitaro ktah yenamah swadah (Puja Pitra)
Semoga arwah leluhur kembali dengan cepat kepada Brahman berkat tuntunan leluhur (ibu-bapak yang telah lebih dahulu kembali kepada Tuhan).
Semoga arwah leluhur yang telah kembali kepada Brahman dapat mencapai keadaan jiwa tingkat keempat atau jnana, berkat bantuan bapak-ibu (leluhur).
Arwah teluhur telah menyatu dengan Brahman berkat tuntunan bapak-ibu (leluhur).

Om Swaha dan Ong Swadah sebagaimana kutipan mantra di atas, memiliki makna yang sangat dalam, esensial. Tanpa tuntunan bapak-ibu, maka semua permohonan tidak akan berhasilBerdampingannya bapak-ibu dalam suatu upacara adalah syarat utama untuk berhasilnya suatu permohonan. Lebih-lebih pemujaan itu dilakukan untuk para leluhur. Bapak ibu adalah wujud Brahman dalam hidup dan kehidupan skala (mayapada) bagi putra-putrinya, maka puja dan hormati bapak-ibu/leluhur.
Dalam bentuk cairan, bapak ibu yang menyatukan rasa dalam purna candra (vagina), puncak rasa dalam purna candra keluarlah kama petak (sperma) dan kama bang (sel telur).

Dalam bentuk niskala kama petak adalah dan kama bang adalah Ang dan kama bang adalah Ah. Itu sebabnya ketika kama petak dengan kama bang menyatu membentuk menyerupai telor berkabut putih bagaikan salju dalam siwagarbha (rahim), dijaga oleh Adi Brahma yang keluar dari pusat Ongkara. Sehingga Rwa Bhinneda adalah dua hal berbeda namun hakikatnya 1(satu). Menyatu rasa dalam purna candra, demikian pula manyatu dalam wujud wuwunda (bayi), urghapada (posisi bayi berdiri), dan jatismara posisi bayi kepala di bawah di dalam Siwa Garbha yang disebut dengan jatismara.

Jatismara sejatinya gabungan dari kama petak dengan kama bang, yang masing-masing telah mewujud menjadi tri chandya dengan tri murti, tri chandya adalah tulang, sumsum dan saraf, sedangkan tri murti adalah daging, darah, darah dan kulit (ditambah bulu dan rambut). Bilamana, kita lebih mencermati Naskah Siwagama, tri chandya merupakan tabung ajaran Yogasanyasa, sedangkan tri murti adalah tabung ajaran Karmasannyasa. Penterapan Yogasannyasa lebih didasari dan penguasaan serta pelaksanaan Jñana Marga dan Yoga Marga, sedangkan Karmasannyasa lebih didasari pada penguasaan dan pelaksanaan Karma Marga dan Bhakti Marga.

Pada diri manusia sejatinya kedua ajaran ini menyatu dengan padu. Kesempurnaan Karmasannyasa terletak pada didasari penguasaan, pemahaman serta pelaksanaan Yogasannyasa. Demikian pula Yogasannyasa ini dapat mewujud, tentu dengan adanya pelaksanaan Karmasannyasa.

Pelaksanaan keagamaan Hindu khususnya Bali, bahwa Karmasannyasa dengan Yoga-sannyasa adalah menyatu. Walaupun pada awalnya, sebagaimana dipaparkan dalam Siwagama bahwa Karmasannyasa dengan Yogasannyasa adalah ajaran yang satu dengan lainnya berbeda. Karmasannyasa pelaksanaan ajarannya menekankan pada Karma Marga dan Bhakti Marga. Ajaran ini menggunakan sarana-sarana, seperti tempat ibadah: Sanggah/Merajan, Kahyangan Tiga, Kahyangan Jagat dan sejenisnya, pula menggunakan sarana banten. Sedangkan Yogasannyasa menekankan ajarannya yang didasari dengan Jñana Marga dan Yoga Marga, sama sekali tidak menggunakan sarana sebagaimana dalam pelaksanaan ajaran Karmasannyasa.

Kontekstualnya pelaksanaan kedua ajaran ini, sejatinya tidak perlu lagi penyatuannya. Dikarenakan ia tidak hanya menyatu dalam pelaksanaan keagamaan secara komunal, namun ia sejatinya pula menyatu dalam diri manusia. Karmasannyasa, merupakan refleksi ajaran Siwa, sedangkan Yogasannyasa refleksi ajaran Buddha. Sebagaimana kita pahami bersama Siwa-Buddha di Bali demikian menyatu dengan padu, tidak hanya dalam hubungan keberagaman secara komunal, namun pula secara individu. Bila kita kembangkan pemahaman ini maka laki-laki sejatinya adalah tabung ajaran Buddha, sedang wanita tabung ajaran Siwa.

Manakala kita mengkajinya lebih mendalam mengenai Naskah Siwagama, khususnya sargah 19 (sembilan belas), bahwa kesempurnaan wanita, karena di dalam wanita terletak tabung (dan purna candra-Siwagarbha) menyatunya Siwa-Buddha. Proses pernyatuan itu terjadi, sejatinya dimulainya bapak ibu ketemu pandang, berlanjut pada pacaran, kemudian menikah. Penyatuan Siwa-Buddha dalam wujud awalnya, ketika Buddha dengan kepala botak, berambut berlingkar-lingkar dipangkal leher bertamasya di taman purna candra, yang pintu gerbangnya penuh ditumbuhi semak belukar. Maksud perjalanan Budha ini, untuk ketemu dengan manifestasinya yaitu Panca Tatagata di taman purna candra, untuk melanjutkan tugas karmanya di taman tersebut. Konteks Siwaisme, purna candra terletak pada tabung karmasannyasa. Dengan demikian purna candra identik dengan milik Siwa, dengan kata lain purna candra wujud jasmaniah rahasia yang dimiliki wanita. Ini artinya peristiwa tamasyanya Buddha di purna candra, dalam wujud jasmaniahnya yang berkepala botak itu dengan berambut melingkar-lingkar di pangkal lehernya, memiliki makna yang sangat dalam yakni sebelum melakukan karma lanjut menapaki bakti, hendaknya dilandasi dengan jñana dan yoga terlebih dahulu. Dengan demikian jñana adalah power dalam melakukan karma, bakti maupun yoga.

Setelah Buddha yang plontos puas bermain-main dengan mempermainkan suatu benda yang menyerupai bunga teleng, yang sejatinya benda itu adalah putik sari bunga padma yang berada di taman purna candra, taman purna candra pula telah puas atas kunjungan Buddha. Kemudian Buddha dan ujung kepalanya yang botak itu meluncur dengan kencang jutaan embrio tri candhya yang tiada lain adalah kama petak (sperma), selalu diusahakan dalam bentuk bersamaan dari pangkal putik sari padma ke luarlah dengan gemulai embrio tri murti yang tiada lain adalah kama bang (sel telur).

Kemudian kedua kama ini mengalir menyatu ke dalam Siwagambha atau alam Siwa, untuk melanjutkan karmasannyasa. Dengan demikian Siwa Buddha menyatu di dalam Siwagarbha. Siwa-Buddha yang sejatinya adalah Siwa Guru. Guna kepentingan kehidupan Siwa Guru mewujudkan masing-masing menjadi Buddha dan Siwa. Dalam bentuk aksara Buddha-Siwa mewujudkan menjadi (Ang Ah). Kama petak dengan kama bang menyatu mewujud menjadi telor berkabut-wuwunda-bongkahan daging menyerupai wayang-Urdhapada, dan pada usia sembilan bulan pada akhirnya masing-masing menjadi tri chandya dengan tri murti. Tri chandya dengan tri murti menyatu menjadi jatismara, kemudian lahirlah bayi (manusia). Dengan demikian dalam diri manusia secara individual merupakan tabung-tabung ajaran Siwa Buddha.

Subhasubha Karma
Dengan demikian, tidak semua 2 (dua) hal yang nampak bertentangan dapat disebut Rwa Bhinneda, seperti: tidak membunuh dengan membunuh, tidak mencuri dengan mencuri, membakar dengan tidak membakar. 2 (dua) hal yang nampak berbeda dan bertentangan ini sejatinya adalah subhasubha karma (perbuatan baik dan benar dengan tidak baik dan tidak benar) dan manusia.
Dengan demikian subyek subhasubha karma adalah manusia, karena hanya manusia yang dapat melakukannya. Kalau menginginkan kebaikan, maka berbuatlah. yang baik dan benar, bila berbuat tidak baik dan tidak benar, maka yang didapatkan tidak baik dan tidak benar.

Sehingga baik-tidak baik, membunuh-tidak membunuh dan lain-lain sebagaimana diuraikan di atas, bukan tergolong Rwa Bhinneda, dengan kata lain disebut dengan Subhasubha karma. Hakikat subhasubha karma tidak bisa/tidak dapat dipertemukan, ia akan dan selalu bertentangan, sebagaimana halnya madu dengan racun.Memang subha-subha karma memberikan warna dalam hidup dan kehidupan, dalam bahasa agama akan berhubungan kehidupan setelah kematian, yaitu sorga dan neraka. Dalam konteks hukum positif, subhasubha karma tidak selalu memberikan pengaruh dan dampak, dalam hal ini berhubungan dengan penghargaan maupun sanksi. Bila masyarakat berbuat sesuai dengan aturan hukum (misal KUHP), tidak serta merta mendapatkan penghargaan. Demikian pula bila masyarakat, walaupun sesungguhnya melakukan tindakan kriminal, namun tidak dapat dibuktikan secara sah, maka yang bersangkutan tidak dapat dikenakan sanksi, bila terbukti secara sah tentu mereka dikenakan sanksi.


Sangat berbeda dengan Rwa Bhinneda, nampaknya berbeda, namun hakikatnya satu, sebagaimana Siwa dengan Buddha hakikatnya adalah satu. yaitu Siwaguru, yang merupakan induk aksara manakala menyatu, akan menjadi hal yang paling esensial yaitu Ongkara. Bapak (laki) dan ibu (perempuan) adalah wujud nyata Rwa Bhinneda, orang terlahir laki-laki bukan sebuah kebenaran, orang terlahir perempuan bukan sebuah kesalahan, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian Rwa Bhinneda, tidak langsung berhubungan dengan hukum karma, ia adalah subyek karma, sedangkan subyeknya adalah Brahman.

Pergeseran Rwa Bhinneda ke Subhasubha Karma
Sangat latah kita dengar dalam hidup dan kehidupan masyarakat, seperti ketika seseorang di suatu tempat barang miliknya dicuri, atau di suatu pura kehilangan barong dan sejenisnya, pemberi pembinaan mengatakan bahwa itu adalah Rwa Bhinneda. Entah dan mana sümbemya, yang jelas pembina dimaksud dengan penuh keyakinan, bahwa terjadmnya pencurian, pembunuhan dan sejenisnya merupakan benang rantai Rwa Bhinneda.

Manakala disadari, bahwa setip manusia normal, tidak menghendaki terjadinya pencurian, pembunuhan dan sejenisnya, karena hal itu dapat menimbulkan tidak hanya kehilangan barang, maupun taksu, namun dapat berakibat fatal yaitu kehilangan nyawa. Lebih ironis lagi pelanggaran peraturan dikatakan Rwa Bhinneda. Sepatutnya hal ini bukan rangkaian Rwa Bhinneda, namun sejatinya adalah subhasubha karma atau baik buruknya suatu perbuatan. Selain dampak sebagaimana diuraikan di atas, subha-subha karma dapat menimbulkan sanksi hukum, bila terbukti secara sah melakukan tindak pidana.Lebih lanjut dijelaskan siartgmalam, laki-perempuan, baik-buruk dan lain sebagainya adalah Rwa Bhinneda.
Penjelasan ini, tidak sepenuhnya benar, siang-malam dan laki perempuan adalah benar Rwa Bhinneda, sedangkan baik-buruknya suatu perbuatan dan sejenisnya tergolong subha-subha karma. Siang-malam, laki perempuan, baik-buruk dan sejenisnya lebih tepat dikatakan duandas. Dengan kata lain gabungan Rwa Bhinneda dengan subha-subha karma disebut duandas.Pergeseran pemahaman mengenai Rwa Bhinneda, dan subhasubha karma ke Rwa Bhinneda atau ke duandas atau sebaliknya, memberikan pemahaman kepada kita, bahwa tidak semua yang nampak berbeda dan bertentangan adalah Rwa Bhinneda atau subhasubha karma, namun sudah pasti duandas. Rwa Bhinneda, tidak berhubungan langsung dengan karma atau baik buruknya suatu perbuatan, namun ia bagian esensial dan suatu penciptaan hidup dan kehidupan ini, ia subyek subhasubha karma. Dengan demikian Rwa Bhinneda tidak ditentukan oleh nilai, misal kelahiran seorang wanita bukanlah sebuah kesalahan, demikian halnya lair laki bukanlah sebuah kebenaran. Berbeda dengan subha-subha karma atau baik buruknya perbuatan perjalanannya menentukan dan ditentukan oleh nilai. Orang berbuat baik pasti bernilai baik di mata Brahman, bila berbuat buruk pasti mendapatkan ganjaran dari Brahman. Bila terbukti bersalah secara sah menurut aturan hukum yang berlaku, harus dikenakan sanksi. Bila pergeseran pemahaman dan pelakuan ini terus terjadi, maka manusia akan latah dan menjadi suatu budaya untuk melakukan kesalahan-kesalahan.

[Oleh : Dra. Ida Ayu Made Suerti, Bandung
Pola penerapan ajaran-ajaran Weda kepada masyarakat Hindu di Bali jaman dulu telah menyisakan suatu pemahaman yang belum jernih dalam aplikasinya dewasa ini, apakah hal ini kelalaian para Sulinggih atau pemimpin agama jaman dulu dan jaman sekarang penulis tidak tahu, tetapi fenomena yang bisa kita lihat dimasyarakat akan menjawab hal itu.
Dalam tulisan ini kita coba melihat fenomena”Bhakti pada Leluhur” masyarakat Hindu di Bali. Masyarakat Hindu secara umum mengikuti dengan baik apa yang diterimanya dari fihak yang dianggap lebih tahu atau yang dipercaya sebagai panutan, apakah itu Pandita (Brahmana/Sulinggih) seperti :Pedanda, Mpu, Bhagawan, Rsi, Bujangga, Dukuh, atau Pinandita (Jero Mangku), tokoh agama/tokoh adat, atau penglingsir, sehingga mereka menurut saja ketika harus membeli seperangkat banten yang mahal-mahal untuk keperluan Ngaben atau melakukan ritual tertentu jika menghadapi masalah, seperti : Nawur Sesangi, me-baya (Istilah Jawa : Ruwatan), mengadakan pertunjukan wayang, dan bentuk laku lainnya yang harapannya agar terjadi perbaikan dirinya dan keluarga skala-niskala sesudah diadakan acara tersebut. Suatu pemandangan yang umum terjadi, bahwa masyarakat ini berani mengeluarkan uang yang besar untuk suatu upacara atau jika harus Ngelinggihang Hyang Widhi berupa Kemulan atau Stana Leluhur berupa Meru (untuk Kawitan/Atma pratista), Paibon, atau Pelinggih Hyang Kompyang. Kebutuhan akan hal ini telah mengalahkan kebutuhan lainnya, seperti: pendidikan, kesehatan, Asuransi termasuk bantuan kepada fihak lain yang membutuhkan (Dana Punia), sehingga terkesan pola kehidupan ini sangat pribadi bahkan cendrung egois. Tetapi itulah cara mereka menunjukkan bhaktinya pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan, apakah hal ini dibenarkan ajaran Weda, mari kita cermati bersama-sama.
Fenomena lainnya yang tidak kalah serunya adalah : Pemanfaatan Balian Kodal, metuunang, me-peluasan, sebagai tempat bertanya tentang keleluhuran atau jika mereka menghadapi masalah baik ekonomi atau kesehatan. Apakah ini pengejawantahan dari ketidak percayaan mereka pada tokoh agama atau Sulinggih atau karena mereka mencari jalan pintas akibat tidak tahan menghadapi kehidupan yang semakin sulit ? hal ini menjadi tidak jelas, namun faktanya sebagian besar masyarakat ini melakukannya. Secara umum hasil metuunang ini akan mengatakan, bahwa : Leluhur kepanesan, masih terikat (Nu Metegul di-kedituan), belum dapat tempat (Konden maan tongos), dan bentuk penjelasan lainnya yang menyatakan Hyang Kompyang masih bermasalah, sehingga keturunannya (Damuh) ikut panas di Mayapada (Dunia) yang berakibat ekonomi seret, sakit-sakitan, ribut dikeluarga atau ribut dengan tetangga, sehingga sering muncul kalimat ”Irage kesalahang Hyang Kompyang atau kesalahang Kawitan (Kita dihukum Leluhur)”, dan untuk mengatasi hal itu banyak yang kemudian mengikuti petunjuk Jero Balian untuk membuat Banten tertentu atau bagi yang belum Ngelinggihang atau membuat Stana Leluhur biasanya diminta merealisasikannya, dimana semua itu mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya untuk minta ampura kepada Hyang Kompyang. Yang menjadi pertanyaan adalah : Apakah Hyang Kompyang itu begitu kejam, sehingga keturunannya sampai dihukum seperti itu ? apakah leluhur itu yang sudah merage Dewa Hyang mempunyai sifat pemarah atau pendendam? ini perlu dijelaskan baik oleh tokoh agama maupun para Sulinggih.
Atas pemaparan diatas, jika kita mencoba mencari penjelasan logis (dengan Wiweka) atau penjelasan atas dasar Weda, atas permasalahan diatas, maka ada point-point yang bisa diambil, seperti : kenapa mereka datang ke Balian Metuunang, kenapa mereka berpaling ke Hyang Kompyang (Leluhur) jika ada masalah ekonomi atau kesehatan, dan kenapa mereka mengeluarkan uang yang besar untuk banten ? ini karena mereka belum menghayati pengertian ”Bhakti” yang merupakan bagian dari ajaran Catur Marga atau pengertian ”Putra” yang berasal dari Pum dan Trayate atau”Penyebrang Dosa Orang Tua”. “Bhakti” adalah bentuk kepasrahan sejati kehadapan Hyang Widhi atau Bhatara Kawitan tanpa mengharapkan balasan apapun atau tanpa pamrih, sehingga orang tersebut pantas disebut dengan “Bhakta”. Walaupun masyarakat Hindu di Bali dikenal oleh orang luar sangat Bhakti pada Hyang Widhi dan Leluhur, tetapi bhakti seperti apa yang telah dilakukan, jangan-jangan baru pada tingkat “Me-bhakti” atau hanya baru pada tingkat melaksanakan belum sampai penghayatan dari hati yang terdalam. Apakah setiap ada masalah lalu datang ke Hyang Kompyang membuat banten dan berharap setelah itu hutangnya lunas, sakitnya sembuh, atau kehidupannya tenang ? bukankah itu ”pamrih” namanya. Contoh yang gampang untuk mengenal bhakti seperti ini adalah Bhakti pada ayah ibu karena beliau adalah leluhur yang terdekat. Jika kita bhakti pada ayah ibu dengan harapan agar diberikan uang atau imbalan materiil lainnya, itu bukan bhakti yang sejati. Bhakti yang benar adalah berupa kepasrahan yang utuh kepada ayah-ibu juga leluhur tanpa mengharapkan imbalan bahkan mendoakan agar ayah-ibu juga leluhur memperoleh ketenangan, bukan malah meminta leluhur memberikan sesuatu ketika kita mengalami kesulitan, namun mohonlah tuntunan pada Hyang Widhi atau Bhatara Kawitan karena kepada beliau kita dibenarkan memohon dan itupun jika perlu, karena tidak setiap bhakti harus disertai permohonan. Tindakan ini akan menyebabkan kita lega, lapang dada, tenang sehingga bisa berpikir jernih untuk menghadapi kehidupan sehingga muncul ide-ide yang baik dan benar bagaimana menghadapi kesulitan ekonomi, masalah kesehatan, dan sebagainya. Itu contoh Bhakti, lalu bagaimana jika Logika (wiweka) yang kita pergunakan ? Ketika kita menghadapi kesulitan ekonomi kemudian kita membuat banten yang besar-besar, membuat Pelinggih yang megah, apa yang terjadi ? uang kita semakin terkuras dan bisa jadi hutang bertambah, jangan-jangan sesudah itu Hyang Kompyang lagi yang disalahkan jadi penyebabnya lalu datang lagi ke Balian Metuunang disuruh buat banten lagi, maka semakin susah hidup ini. Seharusnya yang pertama dilakukan dalam situasi seperti ini adalah ”Ngelinggihang di hati”. Puja terus Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan hingga Melinggih di dalam hati kita, jika dikemudian hari keuangan cukup lakukan Bhakti dengan membuat Pelinggih beliau berupa : Meru, Paibon, atau Pelinggih Hyang Kompyang sehingga keluarga besar bisa melakukan Puja Bhakti dengan lebih baik. Bagaimana dengan peran “Putra” (sentana atau anak keturunan) ? Putra adalah penyebrang dosa orang tua, maka anak yang berbhakti atau anak yang su-putra akan menjadi penyebrang dosa orang tua atau leluhur, demikian sebaliknya terhadap anak yang durhaka akan berakibat buruk pada leluhur atau orang tua, ini jelas disebutkan dalam ajaran Weda. Jadi … kesimpulan dari semua itu ada pada “Karma” sesuai ajaran Karma-Phala, jika kita melakukan kebaikan dalam kehidupan ini, maka pahala kebahagiaan akan kita peroleh semasih hidup (Jagadhita) atau sesudah mati (Moksartam), maka jadilah orang yang menganut ajaran Tri Kaya Parisudha dan hindari mendakwa leluhur itu sebagai penyebab masalah kita apalagi karena atas petunjuk Jero Balian.
Untuk renungan, mari kita melihat bagaimana bhaktinya Sang Dasarata - Raja Ayodya (Ayah Kresna) seorang tokoh panutan disegala jaman yang sangat menghormati leluhurnya. Disebutkan pada sebait Kekawin Ramayana sbb :
Gunamanta Sang Dasarata, Wruh sira ring Weda bhakti ring Dewa
tar malupeng pitra puja, masih ta sireng swagotra kabeh
Raja Ayodhya itu adalah ahli Weda, seorang bhakta (pemuja Tuhan yang taat), tidak pernah lupa memuja roh leluhur serta sangat kasih kepada semua keluarga dan rakyatnya. Mungkin karena kualitas Dasarata itu pulalah, maka Dewa Wisnu memilih Raja Ayodya itu sebagai „Ayah“-Nya di dunia ini seperti disebutkan dalam Kekawin Ramayana, “Sira ta triwikramapita/Pinaka bapa Bharata Wisnu mangjanma“.

Sumber : Tulisan Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah


Hubungan Bali, Nusantara, India, dan China sudah terjadi sejak lama menurut penemuan DR.R.P.Soejono manusia tertua yang mendiami pulau Bali adalah manusia pendukung kapak genggam, terbukti pada 1961 ditemukan jenis kapak genggam, kapak perimpas, pahat genggam, serut dan sebagainya di desa Sembiran Singaraja dan sebelah timur serta tenggara danau Batur Kintamani. Apakah mereka langsung menjadi leluhur orang bali ? belum tentu kemungkinan mereka punah atau berbaur dengan penduduk masa berikutnya. Manusia selanjutnya yang mendiami Pulau Bali adalah manusia yang hidup di goa-goa, terbukti ditemukan alat-alat dari tulang di goa Selonding diperbukitan kapur Pecatu Badung. Pendukung kebudayaan alat-alat dari tulang adalah bangsa Papua Melanesoid yang pada mulanya mendiami daerah Tonkin (China Selatan) yang penyebarannya sangat luas di daerah selatan, india belakang, Indonesia, sampai pulau-pulau di lautan Teduh. Jadi Manusia Papua melanesoid adalah penduduk Bali pada masa kedua. Masa berikutnya yang datang ke Bali adalah ras baru yang sudah mencapai kehidupan lebih baik dengan kemampuan bercocok tanam, disebut pendukung kebudayaan kapak persegi dan alat-alat mereka sudah terbuat dari logam. Mereka disebut bangsa Austronesia dan berpusat di Tonkin juga dan bahasanya Bahasa melayu-Polinesia. Mereka adalah pelaut yang wira mandiri dan penyebarannya ke Bali kira-kira 2000 tahun sebelum masehi. Orang-orang Austronesia dari jaman perundagian (Megalhitikum) ini, mempunyai kepercayaan bahwa roh leluhurnya akan selalu melindungi mereka karena selalu mereka puja. Untuk kepentingan itu mereka membuat : Menhir (tugu batu), bangunan punden berundag, arca-arca batu sederhana, tahta batu (Dolmen) atau altar tempat sajian. Persekutuan masyarakat austronesia ini disebut Thani atau Banua dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umum disebut Sahing. Persekutuan hukum orang-orang Austronesia ini diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali dan mereka disebut orang Bali Mula atau Bali Asli, mereka kemudian disebut Pasek Bali. Orang-orang Bali yang datang kemudian pada umumnya berasal dari Jawa, termasuk Mpu Semeru yang datang pada Masa Raja Udayana, dimana Mpu Semeru menjadikan orang Bali Mula ini sebagai Putra Dharma (Putra angkat) dengan sebutan Pasek Kayu Selem.
Fase berikutnya adalah terkait dengan kedatangan Bangsa India ke Indonesia termasuk ke Bali. Tersebutlah seorang Rsi dari India dari garis perguruan (Param-para/Sampradaya) Maharkandya datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu. Beliau pertama berasrama di di wilayah pegunungan Dieng di Jawa lalu berdharmayatra ketimur sampai ke Gunung Raung jawa timur kemudian ketimur (Bali) yang ketika itu konon masih kosong (secara spiritual/orang Bali belum beragama). Beliau pertama datang dengan rombongan 800 orang menuju Gunung Agung, namun banyak pengikutnya meninggal karena terserang penyakit. Beliau kembali ke Gunung Raung dan ber Yoga Semadi lalu kembali lagi ke Bali (Gn Agung) dengan 400 orang namun sebelumnya melakukan ritual sebelum membuka hutan dengan menanam Panca datu di Gn Agung. Tempat ini kemudian menjadi Pura Besakih. Selanjutnya beliau ke barat dan sampai di desa Taro. Beliau diterima dengan baik oleh penduduk Bali Mula, dan mendirikan sebuah Pura disebut Pura Gunung Raung. Pengikut beliau kemudian berbaur dengan penduduk Bali Mula. Selanjutnya beliau mendirikan beberapa Pura seperti Pura Gunung Lebah di Campuan Ubud, dan Pura Murwa di Payangan. Keturunan Rsi Maharkandya dan pengikutnya disebut dengan Warga Bujangga Waisnawa. Pada fase kerajaan-kerajaan berikutnya Pandita dari Warga Bujangga Waisnawa selalu menjadi Purohita Kerajaan.

Seperti diketahui, bahwa pada awal-awal masehi terjadi peperangan kerajaan-kerajaan di India dan sekitarnya sehingga Kerajaan-kerajaan itu menyebar keluar India. Salah satu dari India selatan adalah kerajaan Kalingga yang datang pertama ke jawa Barat dan membentuk Kerajaan Kalingga pada tahun 414 M. Rajanya yang terkenal adalah Sannaha dan Ratu Simmo. Kerajaan Kalingga selanjutnya pindah ke Jawa tengah dengan nama Mataram atau Medang dengan gelar Wangsa Sanjaya, kemungkinaan Kalingga didesak oleh Kerajaan Wangsa Warma yang mendirikan kerajan Tarumanagara di Jawa Barat pada abad ke-6 M dengan Rajanya Purnawarman. Wangsa Sanjaya (Kalingga) dan Wangsa Warma selalu bersaing mendirikan kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Bali.

Kerajaan Bali tertua bernama Singamandawa pada 804 – 888 Saka (882-966 Masehi) dengan rajanya Ratu Ugrasena. Bersamaan dengan itu di Bali juga muncul kerajaan yang dibentuk Sri Kesari Warmadewa di Singadwala dengan sebutan Bhumi Kahuripan berpusat di Besakih. Sri Wira Dalem Kesari datang ke Bali dari Sri Wijaya pada 913 M. Di Bali kerajaan Singamandawa terdesak hanya bertahan di Kintamani dan Buleleng sementara Warmadewa sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan setelah tahun Saka 888 tidak terdengar lagi Raja dari Sanjayawangsa (Kalingga). Kemungkinan dikalahkan Warmadewa dengan cara damai dan keturunannya menjadi Arya-Arya di Bali (sebelum Arya pada jaman Majapahit menguasai Bali). Setelah Sri Kesari Warmadewa mangkat, keturunan berikutnya yang menjadi Raja di Bali adalah : Candrabhaya Singha Warmadewa 956-974 M, selanjutnya Wijaya Mahadewi 983 M, dan Udayana Warmadewa 988 M. Raja Udayana mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa), Raja Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata dan ketika di Bali bernama Gunapriya Dharmapatni. Raja Udayana berkuasa sampai 1011 M. Keturunan Raja Udayana adalah Airlangga dan Anak Wungsu, dimana Udayana menjadi Raja di Jawa atas kehendak pamannya (Kakak Mahendradata/ Sri Kameswara) dan adiknya Anak Wungsu melanjutkan menjadi Raja Bali fase berikutnya. Pada masa Raja Udayana ini datang para Mpu dari Jawa yaitu Catur Sanak atau 4 bersaudara dari Panca Tirta. Keturunan dari Panca Tirta ini kemudian menjadi penduduk Bali berikutnya seperti Warga Pasek Sanak Pitu, Ksatrya Dalem, Warga Brahmana, dan para mantri-mantri dengan sebutan I Gusti.

Pada jaman pemerintahan Raja suami istri Udayana – Warmadewa di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula (Penduduk Bali Asli di Tampurhyang Batur Kintamani) dan Bali Aga (Dari Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Berangkatlah ke empat Mpu ke Bali kecuali Mpu Bharadah yang menetap di Jawa. Banyak hal dilakukan di Bali oleh Para Mpu ini, salah satunya adalah Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 kelompok dari 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Dengan demikian seluruh peserta bisa diadopsi, bisa disatukan dan Bali menjadi aman. Berikutnya Mpu Kuturan banyak membangun Pura di seluruh Bali bahkan Pura-Pura besar di Bali yang masih ada sekarang ini banyak dibuat pada jaman beliau. Pasraman Beliau masih ada di Bali sampai sekarang : Mpu Gnijaya di Pura Lempuyang Madya Karangasem, Mpu Semeru (Ratu Pasek) di Pura Caturlawa Besakih-Karangasem, Mpu Ghana (juga disebut Ratu Pasek) di Pura Dasar Bhuwana Gelgel Klungkung, Mpu Kuturan di Pura Silayukti – Padangbae Klungkung termasuk ada Peristirahatan Mpu Bharadah.

Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu . Airlangga menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata). Airlangga berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri Jayasabha. Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa. Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.

Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Jawa Timur dan Bali dikuasai oleh Majapahit sekaligus sebagai akhir dari kekuasaan Wangsa Warmadewa. Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (1343 – 1350 Masehi). Setelah sekian lama ditunggu Majapahit tidak juga mengirimkan Adipati ke Bali, maka Ki Patih Ulung (Ayah Pasek Gelgel) berangkat ke Jawa bersama saudara Pasek lainnya meminta Raja Majapahit menunjuk Adipati di Bali. Akhirnya Pada saka 1272 (1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Sri Kresna Kepakisan menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali, alasannya karena saudara-saudaranya, yaitu keturunan Mpu Gnijaya dan Mpu Semeru banyak di Bali. ( Seperti diketahui, Kresna Kepakisan adalah Putra Mpu Soma Kepakisan (Guru Gajah Mada) dimana Mpu Soma Kepakisan adalah Putra Mpu Bahula, ayah Mpu Bahula adalah Mpu Bharadah terkecil dari Panca Tirta, jadi masih kerabat dengan Pasek Gelgel. Mpu Soma Kepakisan mempunyai saudara, yaitu : Mpu Smaranatha (Ayah Danghyang Nirartha) yang keturunannya di Bali memakai nama Ida Bagus didepannya, juga Mpu Sidhimantra (Ayahnya Manik Angkeran dalam kisah diputusnya pulau Jawa dan Bali) keturunannya di Bali dikenal dengan: Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh. Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Sri Kresna Kepakisan putus asa dan ingin kembali ke Jawa. Lalu Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Sri Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada I Gusti Agung Pasek gelgel, setelah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Sri Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat Bali Mula, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Berlanjut kemudian Dinasti Sri Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem”. Kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (1460-1550 Masehi). Pada masa ini datang dari Jawa pada saka 1411 (1489 Masehi) Mpu Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian berhasil menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Sri Waturenggong. Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah. Pada masa Danghyang Nirartha menjadi Purohita pada pemerintahan Dalem Waturenggong maka peran Purohita keturunan Sapta Pandita (Putra Mpu Gnijaya) dan Bujangga Waisnawa digantikan beliau, dan membuat pelapisan masyarakat dimana Fungsi Purohita selalu dari keturunan Danghyang Nirarta sehingga sampai sekarang disebut Warga Brahmana. Sedangkan Keturunan Dalem mengambil porsi Ksatrya, para Mantri mengambil porsi Wesya dan lainnya Sudra. Ketika ”Majapahit Runtuh pada Abad XV” maka otomatis Bali lepas dari Jawa, sehingga Adipati di Bali pecah menjadi raja-raja kecil di sembilan tempat (sekarang menjadi 8 kabupaten plus Mengwi) tetapi tetap mempertahankan Hindu dengan adatnya sampai tenggelam. Ketika Belanda masuk dihidupkanlah kembali bekas-bekas Raja ini dengan politik adu dombanya, bahkan kemudian pelapisan masyarakat yang sudah ada sebelumnya dilegalkan menjadi Kasta dengan muncul istilah Tri Wangsa dan Jaba yang dijaman reformasi ini sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman umat akan hakekat manusia menurut Weda (Ajaran Tat Twam Asi dan Catur Warna) dan pemahaman akan sejarah leluhurnya yang satu keluarga.

Dalam aktifitas Panca Yadnya termasuk juga ”Pitra Yadnya”, maka selalu ada 3 (tiga) hal pokok yang saling terkait, yaitu ”Pemuput”(Pandita/Wiku, Pemangku, atau lainnya), ”Sarati Banten”(yang menyiapkan Banten/Upakara), dan”Yajamana” (Sang meduwe karya).
Pandita/Wiku/Sulinggih :
Sebutan universal untuk Brahmana tanpa memandang asal keturunannya, khususnya yang dari Bali sebutannya bermacam-macam, yaitu : Pedanda, Mpu, Shri Mpu, Bhagawan, Rsi, dan Bhujangga. Umat Jawa lebih senang menyebut Pandita dengan sebutan ”Romo”. Di India sendiri yang umum sebutannya Rsi dan Maha Rsi, walaupun sering kita dengar sebutan orang suci dengan Baba, Maharaj, Pandit, dll. Pada masa Majapahit menguasai Jawa Timur dimana sekitar tahun 1350 menempatkan wakil raja (Adipati) di Bali yang disebut ”Dalem” yang pertama Dalem Kresna Kepakisan. Pada waktu ini telah berakhir kekuasaan raja-raja Warmadewa sebelumnya. Pada masa Warmadewa (Raja Udayana dan keturunannya) sampai kepada Dalem, Pandita kerajaan adalah Panca Tirta dan keturunannya seperti Sapta Pandita, juga Purohita dari keluarga Bhujangga. Dalem juga keturunan Panca Tirta karena Ayah Dalem adalah Mpu Soma Kepakisan yang adalah keturunan (cucu) Mpu Bharada terkecil dari Panca Tirta. Para Mpu dan Bhujangga ini selalu menjadi rohaniawan kerajaan, sebutan yang umum untuk mereka dimasa itu adalah MPU.


Fase penting lainnya adalah menjelang runtuhnya majapahit (Abad XV) karena masuknya Islam di Majapahit, pada tahun 1489 Mpu Nirartha (yang kemudian dikenal dengan Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wau Rauh), datang ke Bali dan singkat cerita menjadi Rohaniawan kerajaan yang waktu itu dipimpin Dalem Waturenggong/Baturenggong. Sejak itu peran para Mpu keturunan Sapta Pandita dan Bhujangga digantikan oleh Mpu Nirartha dan keturunannya. Setelah jaman kemerdekaan dan sesudahnya, maka Pandita sudah tidak monopoli lagi oleh keturunan Mpu Nirarta karena disamping leluhur sebagian besar orang Bali adalah Pandita, maka ajaran Catur Warna juga menguatkan, bahwa sesuai Guna (bakat/gen) dan Karma (lakunya), maka siapapun berhak menjadi Pandita, namun untuk di Bali tidak mudah aplikasinya karena Pandita yang seharusnya sudah bebas dari ikatan Soroh/Clan masih dikotakkan minimal dari Abhisekanya, seperti keturunan Ida Bagus kalau menjadi Pandita disebut ”Pedanda” (Danda=Tongkat), keturunan Dalem jika menjadi Pandita disebut ”Bhagawan”, I Gusti menjadi ”Rsi, dan diluar itu Mpu (untuk Pasek), Sire Mpu (untuk Pande), dan Bhujangga, kedepan kita perlu menyadari, bahwa mereka semua adalah sama-sama Pandita yang bisa diminta Muput.


Mpu, Bhagawan, Rsi, Bhujangga, Dukuh, adalah nama Rohaniawan yang sejak lama dikenal di Nusantara, Pedanda hanya dikenal di Bali yaitu dari keturunan Mpu Nirartha. Agar umat tidak bingung, maka sebut saja semua Brahmana ini dengan sebutan ”Pandita”, ini adalah sebutan yang universal. Jika sedang menghadap (Tangkil) sebut saja ”Nak Lingsir” untuk Pandita dari Bali, ini adalah bahasa penghormatan yang mencerminkan ”kedekatan” antara umat dengan Sang Brahmana, karena prinsif ”Jun ngalih pancuran (Jun/tempat air- mencari mata air) harus dijadikan pegangan bagi umat untuk meningkatkan kesadaran rohani. Dari sisi ciri-ciri Pandita, disamping Me-prucut, maka biasanya bawa tongkat yang panjangnya kalau beliau berdiri sampai sekitar pusar, kalau duduk tongkat tersebut sama dengan tinggi beliau. Setingkat dibawah Pandita adalah ”Jro Gede” yang sekarang diganti sebut menjadi ”Jro Bhawati /Ida Bhawati (Bhawa=perut/rahim/belum lahir jadi Brahmana)”. Rambut beliau juga panjang cuma tidak diikat diatas kepala (ubun-ubun) tetapi dibelakang. Satu tingkat dibawah Ida Bhawati adalah ”Pemangku (sebutan untuk umat Bali), Wasi (umat Jawa) dan bahasa universal adalah ”Pinandita” yang berada pada tingkat ”Eka-Jati”. Menurut ageman Ke-Pemangkuan untuk rambut sebenarnya ditentukan ”Panjang” namun dijaman moderen ini Para Pinandita kebanyakan tidak berambut panjang, tentunya ini sudah dipertimbangakan oleh Pinandita tersebut atau Para Pandita dengan dasar sastra yang benar.
Pemaparan singkat tentang Pandita tujuannya agar umat tidak bingung atau takut-takut ketika akan melaksanakan Pitra Yadnya dan kemana harus tangkil, jadi pertama carilah Pandita yang dikenal dan merasa cocok karena factor atmanastuti (keneh/kecocokan hati) sangat penting untuk suksesnya suatu upacara yadnya, bisa tangkil ke Pedanda, Mpu, Rsi, Bhagawan, Bhujangga, dan Dukuh karena semuanya punya wewenang yang sama untuk muput Pitra Yadnya.

Sarati Banten :
Banten yang juga berarti Enten atau sadar/ingat, bagi umat Hindu etnis Bali, mengajarkan kita agar selalu ingat dengan Hyang Widhi. Sebagai sarana ingat ini, maka wujud ”Banten” adalah merupakan medianya. Banten juga disebut “Upakara” (Upa=dekat, Kara=tangan ), bermakna : Mendekatkan diri dengan tangan dicakup atau kreasi persembahan, seperti : bebantenan (Canang, pejati, dll). disamping itu ada “Upacara” (Upa=dekat dan Cara=Harmonis ) bermakna : Mendekatkan diri kepada Hyang Widhi untuk terciptanya ke harmonisan/kedamaian, melalui aktifitas seperti : Piodalan, Pitra Yadnya, dll. Banten/upakara hanyalah simbul, juga bermakna ”buah pikiran yang baik”, seperti disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakrti:“sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda-bhuana” (artinya: semua jenis banten/upakara adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung/alam semesta). Banten disiapkan atau dibuat oleh orang atau fihak yang disebut dengan ”Sarati”, jadi : Sang Sarati Banten menyiapkan segala sarana upakara yadnya, Sang Yajamanamenyiapkan dana atau kebutuhan lain yang terkait dengan upakara tersebut, lalu Sang Pandita/Wiku- muput, sehingga fungsi masing-masing dapat berjalan baik dan menghasilkan Labda Karya atau kesuksesan proses upacara yadnya tersebut. Bagaimana kalau fungsi tersebut digandeng seperti Pemuput adalah Yajamana? Itu bisa saja apalagi jika Yajamana tersebut seorang Pemangku atau bahkan Pandita. Bagaimana kalau Yajamana juga adalah Sarati Banten? Hal itupun bisa terjadi artinya Sang Yajamana menggunakan tenaga masyarakat dan keluarga untuk membuat banten. Bagaimana kalau Pandita adalah juga Sarati Banten? Ini juga ada terjadi dimasyarakat, namun untuk yang terakhir ini sering menjadi sorotan karena masyarakat melihatnya berbeda, umumnya seorang Pandita seharusnya hanya ”Muput” tidak ada lagi berurusan dengan pembuatan banten yang sering diidentikkan dengan busines banten (Gria busines banten)!, sebelum menyatakan demikian mari kita membuka wawasan kita akan situasi bagaimana jika Pandita juga melakukan aktifitas pembuatan banten, walaupun tentu yang membuat para pengayah Pandita di Geria tersebut, apakah hal tersebut dibenarkan ?
Masih teringat dalam memori kita, bagaimana beberapa tahun lalu (sekitar tahun 1960-1980) masyarakat berkeluh kesah ketika melakukan Upacara Pitra Yadnya dimana selalu diikuti oleh ngelus dada karena biayanya yang tinggi, dimana bisa mencapai minimal 50juta untuk ukuran sederhana. Pitra yadnya yang menjadi kebutuhan pokok umat Hindu tetapi dalam prakteknya tidak mampu dilakukan karena biayanya tinggi, maka jadilah banyak Sawa yang belum dilakukan Pitra Yadnya atau kalaupun harus dilakukan melalui menjual sawah atau sumber dana lainnya. Ketika itu image masyarakat, bahwa Pandita sebagai pedagang sangat melekat dan terbawa sampai sekarang. Di era sekarang muncul kemudian usaha-usaha penyederhanaan banten dengan dasar sastra yang benar tidak sekedar menyederhanakan, artinya mana yang pokok dan mana hanya rangkaian (carangnya) saja bisa dibedakan dengan jelas sehingga biaya tidak tinggi. Dengan situasi itu dengan belasan juta saja saat ini umat sudah dapat melakukan Pitra Yadnya secara baik dan memenuhi dasar sastra yang benar. Kenapa biayanya bisa menjadi lebih murah? Intinya memang karena adanya penyederhanaan itu dan itu karena Pandita tersebut banyak yang juga memiliki tukang banten. Maksudnya begini, saat ini banyak terjadi Pandita melakukan juga fungsi Sarati Banten sekali lagi ini pasti dilakukan oleh pengayah Sang Pandita, seorang Pandita tentu mengerti mana yang pokok dan mana yang bisa ditiadakan dan bisa selengkap-lengkapnya jika Sang Yajamana ingin demikian karena misalnya memiliki kemampuan dana yang baik. Bayangkan seandainya jika kegiatan Sarati Banten ini dilakukan murni oleh tukang banten, maka tukang banten akan selalu berkata ”mule keto” tidak berani mengurangi atau melebihkan karena standard yang diketahui sebatas itu, jadi tukang banten ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Tetapi jika Pandita mempunyai tukang banten, maka tanggung jawab penyederhanaan itu ada pada Pandita sementara pengayah hanya membuat banten sesuai dengan arahan Pandita. Jadi Pandita yang memiliki tukang banten justru memberi kebaikan bagi perkembangan yadnya. Seorang Pandita juga bisa menerapkan subsidi silang, artinya ketika ada umat yang mampu maka bisa saja biayanya lebih tinggi dan ketika ada umat yang kurang mampu bisa diberikan harga yang lebih murah. Sekilas seperti ada aktifitas busines diarea Pandita ini namun sesungguhnya ini hanya ”pengaturan” agar semuanya berjalan baik. Ada seorang Pandita yang berceritra pada penulis, didatangi umat yang menyerahkan uang 6juta dan meminta dibuatkan upakara Pitra yadnya sampai selesai. Seorang Pandita yang menyadari, bahwa dirinya adalah pengayom umat, maka tidak akan menolak permintaan umat ini dan jadilah Pitra yadnya dengan dana 6juta tersebut dilaksanakan tanpa mengurangi ketentuan sastra yang benar, biayanya tentu lebih dari 6Juta namun itu urusanya Pandita tersebut, ini yang dimaksudkan dengan pengaturan untuk kebaikan bersama. Jika setiap umat yang datang ke Pandita berlaku seperti diatas, maka akan kasihan sang Pandita, untuk hal ini umat perlu mengerti ajaran Rsi yadnya, bahwa kewajiban kita untuk me-punia kepada Pandita karena mereka tidak lagi berpenghasilan, jadi kewajiban umat terutama warga yang mengangkat Pandita untuk memenuhi kebutuhan mereka, kalaupun pandita mendapatkan Sesari atau ada kelebihan dari pembuatan banten itu bukan dalam pengertian busines, umat tetap punya kewajiban untuk melakukan Rsi yadnya. (Bhagawadgita III.13, menyebutkan : ”Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh Dewa-Dewa karena yadnyamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya sesungguhnya adalah pencuri”). Dengan demikian apakah tidak ada Pandita yang menjalankan praktek menjual banten dengan standard tinggi sehingga menjual mahal kepada siapapun? Mungkin saja hal itu ada, tetapi itu bukan urusan kita (Walaka) untuk mengkritisi, itu urusan Nabe-nya atau urusan Paruman Pandita, jangan sampai para Walaka ini ikut menghujat Pandita, itu bukan sesana atau prilaku yang benar. Pandita sekarang ini menurut pengamatan penulis mempunyai fungsi mendorong terciptanya peningkatan pemahaman Tattwa, salah satunya melalui peningkatan pemahaman akan hakekat banten/upakara sehingga dengan pemahaman itu umat tidak lagi melakukan ”Tamasika Yadnya” atau Yadnya yang dilakukan dengan ketidak fahaman akan maknanya, juga jangan sampai melakukan ”Rajasika Yadnya”yaitu yadnya hanya untuk pamer, prestise, namun lakukanlah ”Sattwika Yadnya” yaitu yadnya yang didasari oleh pemahaman , keikhlasan, dan kesederhanaan..
Terkait dengan Sarati Banten ini, maka jika akan melakukan Pitra Yadnya datanglah pertama kepada Pandita, beliau akan mengatur langkah selanjutnya, seperti : Negem Dewase, tingkatan upacara & upakara (nista,madya,utama) disesuaikan dengan keuangan, Ngelanus atau sampai ngerorasin atau sampai nyekah, dan seterusnya, nah.. jika Pandita mempunyai Sarati banten silahkan lansung diselesaikan di gria ibaratnya “satu pintu”. Kadang ada umat yang masih membawa dresta dalam pelaksanaan Pitra Yadnya sehingga ada sebagian banten yang disiapkan secara dresta tempat tinggalnya, itu tidak apa-apa disampaikan kepada Pandita karena pasti akan diberikan solusi sesuai dengan keyakinan kita selama itu benar. Jika pertama umat datang kepada Sarati banten disamping resiko akan lebih mahal juga perlu diberitahu kepada Pandita atau pengiring Pandita hal bebantenan yang sudah dipesan, tetapi sekali lagi dengan cara ini akan lebih boros dan lebih rumit koordinasinya dibandingkan Pandita menyiapkan upakara/banten sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan oleh beliau, itu akan lebih memantapkan pemujaan saat dilangsungkan.

Yajamana :
Yajamana adalah Sang Meduwe Gawe/Karya, yaitu fihak yang keluarganya akan dilakukan Pitra Yadnya. Bagi Yajamana yang utama adalah“ketulusan” terhadap apa yang akan dilakukan karena aktifitas Pitra Yadnya adalah bentuk Bhakti kita pada orang tua (Guru rupaka) sesuai ajaran Catur Guru, juga bentuk Bhakti atau sungkem kita kepada yang menyebabkan kita ada atau yang sedarah dengan kita. Faktor berikutnya adalah kesiapan dana, jika kita mampu atau mempunyai keuangan yang cukup artinya diluar Pitra Yadnya kita masih mampu membina kehidupan dengan harta benda yang ada, maka silahkan melakukan dengan “utamaning-utama”, namun jika kita belum mampu jangan memaksakan diri apalagi sampai meminjam untuk Pitra yadnya itu tidak dibenarkan. Jika keuangan terbatas lakukan secara“Nistaning nista”, hal itu tidak apa karena utama dan nista bukan bhaktinya tetapi kesiapan materinya. Tidak ada jaminan, bahwa yang utama akan masuk swargan dan yang nista tidak, itu bukan ukurannya. Pitra yadnya adalah kewajiban kita sedangkan karma wasana seseorang bersifat independent artinya yang akan melekat pada Atman setelah Ngaben dan Nyekah/memukur adalah Karma wasana (hasil perbuatan), inilah yang menentukan kelahiran kembali (re-inkarnasi/samsara/numitis) bagi yang bersangkutan. Sekarang ini ada praktek Ngaben Massal atau Ngaben Gotong Royong, dan jika perlu mengikuti didalamnya asalkan dengan ketulusan hati, atas asung Hyang Widhi, maka bhakti dari pratisentana akan mendapatkan hasil yang baik. Yang paling penting jangan sampai melakukan Pitra yadnya dengan ketidak tulusan ataupun dalam pergolakan batin.

Apakah Pitra Yadnya dan Ngaben itu sama atau berbeda?, pertanyaan ini pasti ada dimasyarakat dimana sesungguhnya Ngaben merupakan bagian dari Pitra Yadnya. Ngaben dapat diartikan pembakaran layon (utuh atau setelah berupa tulang belulang) karena Ngaben berasal dari Ngabu atau menjadikan abu, Ngaben juga berarti ”Ngapiin” atau membakar walaupun tidak semua Ngaben berarti dibakar dengan api nyata karena para leluhur kita mampu melakukannya dengan Cita Agni. Jadi Pitra yadnya lebih luas daripada Ngaben dan bisa dikatakan Ngaben itu hanya baru awalnya saja dari proses Pitra Yadnya yang utuh.

Pitra Yadnya landasannya adalah Weda, terutama ajaran Panca Yadnya, Catur Guru, dan lainnya, sehubungan di bali ajaran Hindu banyak dituangkan dalam lontar, maka lontar yang khusus memuat Pitra Yadnya, adalah : Lontar Aji Lokhakretih, Tutur Budha Gama, Lontar Aji Purwakretih, Lontar Yama Purana Tattwa, dan lainnya, jadi Pitra Yadnya sudah ada ageman yang benar sesuai sastra agama, kalau ada perbedaan itu umumnya masalah Drestha. Ngaben dilaksanakan setelah orang itu meninggal dimana menurut ”Vrasphati Tattwa” orang dikatakan meninggal adalah ”setelah Atman ini terlepas dari Panca Maha Bhuta (Apah=darah, keringat, Teja=panas badan, Bayu=napas, Akasa=lobang/rongga, Pertiwi=kulit,daging,otot,lemak) yang merupakan badan kasar (sthula sarira). Badan ini juga terdiri dari ”Panca Tan Matra” (Sabda=telinga&mulut, Sparsa=kulit, Rupa=mata, Rasa=lidah, Gandha=hidung yang mempunyai fungsi merasakan, mencium, dll.)Lepasnya Atma dari ikatan Panca Maha Bhuta maka disebut dengan Mati.Atman jika belum dilakukan Pitra Yadnya disebut petra , yakni Atman yang belum disempurnakan . Atman demikian masih berada di bhur-loka. Apabila sudah dilakukan Pitra Yadnya, maka atmanya disebut pitara. Atman ini telah disucikan karena sudah melakukan dwijati dengan memohonkan pada Hyang Widhi. Atman yang demikian itu sudah berada di bhuwah-loka , disebut pula alam pitra/pitara. Atman dalam tingkatan pitara belum bisa ke swah-loka atau alam dewata yang juga disebut swarga , karena belum melakukan upacara peningkatan kesucian yang terakhir, yaitu upacara mamukur atau nyekah . Mamukur artinya menuju alam atas, yakni alam di atas bhuwah-loka , yaituswah loka. Swah loka juga disebut swarga yang artinya berada di dalam swah. Upacara mamukur adalah upacara peningkatan kesucian atman menjadidewa pitara , artinya pitara yang telah berada di alam-dewa, yaitu swah-loka . Karena dewa pitara yang sudah penuh kesuciannya berada di alam-dewa dan juga berfungsi membimbing serta melindungi kehidupan keturunannya, maka dewa pitara juga diberikan sebutan Batara kawitan , sebagaimana yang dipuja di palinggih kamulan atau kawitan oleh keturunannya. Jadi Atman dalam tubuh dibungkus (dibelenggu) oleh 3 (tiga) hal, yaitu : sthula sarira (badan kasar), suksma sarira (badan halus) dan terakhir Karma Wasana (perbuatan selama hidup). Tujuan Pitra yadnya adalah melepaskan Atma dari belenggu tersebut. Pelepasan Atma dari ikatan sthula sarira disebut dengan”Sawa/Asti-Wedana (Sawa Wedana=dibakar, Asti Wedana=dikubur lalu dibakar)”, hal ini dikenal dengan Ngaben, sementara pelepasan ikatan suksma sarira disebut dengan ”Atma Wedana” atau Nyekah/Memukur, proses berikutnya adalah ”Ngelinggihang Dewa Hyang” yang diawali dengan ”Me-Ajar-ajar”. Prosesi Pitra Yadnya dari penguburan/pembakaran sampai Ngelinggihang Dewa Hyang atas Atman ini berdasarkan pada sastra agama, apakah Atman ini akan menjadi Dewa Hyang kita semua tidak tahu tetapi kita perlu meyakini ajaran agama, yang lebih penting lagi kita pratisentana sudah melakukan sesuatu yang baik yaitu ”bhakti”. Pada akhirnya sastra agama juga menyebutkan, bahwa setelah lebur/lepas dari Sthula dan Suksme Sarira, maka yang tertinggal adalah ”Karma Wasana” dan inilah yang akan menentukan reinkarnasi atau tidaknya Atman tersebut.

Ngaben menurut keadaan jenasah ada 3 (tiga), yaitu :
Sawa Wedana : Ngaben yang layon/jenasahnya langsung dibakar/kremasi
Asti Wedana : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang diaben terlebihdahulu ditanam disetra, setelah beberapa lama (umumnya setelah satu tahun) tulang belulangnya diangkat untuk diaben.
Svasta : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang mau diaben tidak ditemukan (pejah ring sunantara).

Proses ”PITRA YADNYA”
Proses Ngaben Sawa Wedana, Asti Wedana, dan Svasta, secara umum adalah sbb :
Sawa Wedana :
  1. Nyiramang Layon (prosesi Nyiramang layon seperti : mekerik kuku, mesigsig, dll termasuk tirta selengkapnya)
  2. Layon digulung dengan kain putih yang sudah dirajah, diletakkan di bale gede/saka roras atau tempat yang telah disediakan.
  3. Sampai pada hari ”pengutangan” maka dilaksanakan ”Pelebon” diawali dengan Upacara ”Ngaskara” dan Caru Pengelambuk, lalu layon dinaikkan diusungan lalu berangkat ke setra.
  4. Dalam perjalanan disebar ”sekar ura (beras kuning,uang kepeng/bolong,daun temen, kembang rumpai)”, maksudnya perpisahan yang meninggal dengan keluarga agar keluarga selalu diberikan kesejahtraan & kemakmuran.
  5. Pada persimpangan (perempatan) dilakukan pemutaran/mesirig sebanyak tiga kali kekiri/berlawanan arah jarum jam (prasawya) dengan filosopi perpisahan antara yang meninggal dengan desa pakraman/masyarakat Biasanya diiringi Baleganjur untuk membangunkan unsur Panca maha bhuta.
  6. Setelah sampai disetra juga ditempat pembakaran/pembasmian, dilakukan lagi pemutaran/mesirig, lalu usungan diturunkan.
  7. Ngaturang piuning ke Pura Dalem dan Prajapati dengan menyertakan ”Daksina Linggih” sebagai perwujudan atma yang meninggal.
  8. Layon ditempatkan ditempat yang disediakan, dibuka, diberi/diperciki tirta Penglukatan, pembersihan, kahyangan tiga, kawitan, dan terakhir pengentas. Dilanjutkan dengan Ngayabang banten yang diletakkan didada berupa daksina tadi dengan kelengkapannya, barulah dilakukan”pembakaran”.
  9. Sisa pembakaran berupa tulang/galih dipungut dan ditaruh pada sesenden/dulang tanah sebagai alas penguyegan lalu ditumbuk dan ditaruh pada nyuh gading yang sudah dikasturi sebagai wujud ”Puspa Asti”. Sisa galih dibersihkan dengan sarana kukusan dan kain kasa putih selanjutnya dibentuk/direka shg menyerupai orang-orangan diatas kain putih yang telah dirajah beralaskan klasa. Rekaan tersebut diisi kwangen 22 (dua puluh dua)ditaruh pada: ubun ubun, mata, telinga, dahi, hidung, mulut, kerongkongan, puser, huluhati, perut, kemaluan, pantat, kaki, tangan, jari-jari.
10. Selanjutnya ”Puja Utpati” yang dilakukan oleh Sulinggih/Pandita untuk memberi tuntunan serta menghidupkan dan mempertemukan rekaan/Cili (Badan wadag) dengan Puspa Asti (Atma).
11. Sisa galih dibungkus dengan kain putih berbarengan penempatannya dengan alat/sarana pembersihan dan disertakan dalam proses Nganyut. Sehingga proses akhir dari rangkaian upacara ini adalah ”Upacara Nganyut” ke Segara atau sungai yang bermuara kelaut.
12. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara ”Ngangkid”, kembali dibentuk berupa Puspa Lingga atau Daksina Linggih.
13. Dilanjutkan dengan ”Ngerorasin” di Pura Dalem dimana Puspa Lingga tersebut dibuka ”Keampigang” bila upacara sampai disini.
14. Pembersihan terakhir adalah diadakan ”Pecaruan” di pekarangan rumah, Mrajan, serta Mrajan dadia.

Untuk ”Asti Wedana dan Svasta” perbedaan kalau Asti Wedana ada ngangkid tulang belulang sementara Svasta Wedana untuk sawa diganti dengan ”Tirtha (Toya Carira). Prosesnya adalah sbb :
1. Diawali membuat ”Tegteg” yaitu bentuk manusia terbuat dari kayu cendana atau cukup berupa ”Daksina Pengawak” dihias sedemikian rupa diberi gambar orang sesuai jenis kelamin dan diberi pipil nama.
2. Tegteg diiring ke Pura dalem tujuannya matur piuning serta memohon Atma yang akan diaben. Acara ini cukup oleh Pinandita/Pemangku.
3. Dilanjutkan dengan upacara ”Ngulapin” di Pura Mrajapati.
4. Selanjutnya ”Ngeplugin” diatas kuburan, dengan memukulkan ”upih (pelepah daun pisang) sebanyak tiga kali.
5. Upacara ”Ngangkid/Ngendagin” dipimpin oleh Pandita/Sulinggih, bila telah dibongkar dan ditemukan tulang belulang, maka diletakkan uang kepeng (200 kepeng) yang diikat dengan dimana ujungnya dipegang oleh pratisentana sebagai ungkapan semua keluarga siap melaksanakan upacara.
6. Tulang belulang diangkat dan ditempatkan di Bale Panusangan/pesiraman dibuat setinggi ulu hati dari bahan kayu dadapdan diberikan leluwur kain putih yang telah dirajah. Tulang belulang dibersihkan dan dibungkus dengan kain putih hal ini disebut ”Ngringkes” lalu diletakkan disuatu tempat yang disediakan masih diareal setra.
7. Tegteg diletakkan diatas bungkusan tulang belulang tersebut lalu diupacarai sebagai layaknya sawe utuh lalu ditempatkan di ”Tumpang Salu”.
8. Proses selanjutnya adalah sama seperti ”Sawa Wedana (point 8) berupa pembakaran tulang belulang diawali dengan ”Ngaskara” dan seterusnya sampai ”Ngelinggihang Dewa Hyang”.

Ngelunggah (Ngerapuh) :
Anak yang telah ”tanggal gigi” diperlakukan seperti Pitra Yadnya orang dewasa, sedangkan untuk anak/bayi yang ”kurang dari tigang sasih” dilakukan dengan ”mependem” saja, bila dilakukan upacara atiwa-tiwa disebut dengan ”Ngelunggah atau Ngerapuh”. Proses Ngelunggah adalah :
  1. Piuning ke Pura Dalem
  2. Piuning ke Mrajapati
  3. Piuning ke Sedahan Setra
  4. Piuning di Bambang rare
  5. Banten kepada roh bayi dan tirta pengerapuh.
Prosesnya: dengan banten yang sudah tersedia dan dipimpin oleh Pemangku, dilakukan pemujaan agar roh sang bayi disucikan kembali, selanjutnya diperciki tirta yang telah dimohon pada : Mrajapati, Kemulan, Kahyangan tiga, dan lainnya, terakhir bambang diratakan dan semua banten dipendem.
puspa lingga ngaben massal1
Ngelanus
Bila Upacara Pitra Yadnya dilakukan ”tanpa adanya jeda waktu” maka disebut dengan”Ngelanus atau Numandang Mantri”. Ngelanus ini mulai banyak dilakukan karena lebih effisien dan lebih cepat, prosesnya adalah :
Setelah ”Nganyut”, seketika itu :
mapegat mangening-ngening, mecaru, ngerorasin, nyepuh, dilanjutkan dengan ”Penyekahan”, ngalap don bingin, ngajum sekah.
Setelah Ngadegang sekah sebagaimana mestinya, selanjutnya di Pralina (kageseng) dan kembali diwujudkan dengan Ngadegang Puspa Lingga diakhiri dengan Nganyut ke Segara.
Selanjutnya Ngulapin Sang Dewa Pitara untuk dilinggihkan di Pemrajan dan bila sudah waktunya diadakan me-ajar-ajar, barulah dilinggihkan sebagai Dewa Hyang pada sanggah Mrajan Dadia, Pemaksan (Ngwangi) jika diperlukan.
    Kajang dan Berbagai Tirta
    Semua bentuk Pitra Yadnya patut menggunakan ”kain kajang” selengkapnya sesuai dengan kepatutan masing-masing, juga tirta tunggangdari Bhatara Kawitan/leluhur, juga ketika melakukan Nyekah/Memukur (Atma Wedana) perlu menggunakan Tirta Pingit serta Damar Kurung, agar semakin sempurna prosesi Pitra Yadnya tersebut. Hal yang selalu ada pada Pitra yadnya adalah : Tirta Panembak, Tirta pemanah, Tirta Pengentas, Tirta pambersihan, serta tirta lainnya.
    a. Tirta panembak digunakan saat memandikan Layon, tirta ini mengandung makna membersihkan jasad/angga sarira orang yang meninggal dari kotoran-kotoran lahir batin. Toya ini diperoleh pada tengah malam dan mengambilnya pertama dari hilir ke hulu secepat kilat. Saat memandikan mayat, tirta panembak akan dipergunakan dari hulu ke hilir.
    b. Tirta pangelukatan tirta ini mengandung arti bahwa orang yang diabenkan diruwat mala pataka- nya oleh tirta ini.
    c. Tirta pamanah . Satu jenis air suci yang diperoleh dari sumber air suci pada waktu upacara ngening. Orang-orang mencari air suci dengan membawa “panah” yang dibuat dan diberikan mantra oleh pendeta. Air suci itu akan dipakai saat jenazah dimandikan.
    d. Tirta pangentas . Kata pangentas berasal dari tas yang berarti putus. Dalam upacara Pitra Yadnya ada istilah tiuk pangentas yang artinya pisau untuk memutuskan tali pengikat gulungan jenazah. Tirta pangentasmerupakan air suci yang dibuat dengan mantra sulinggih sang pamuput , bertujuan memutuskan ikatan purusa dengan prakerti sang mati guna dikembalikan kepada sumbernya masing-masing. Pada pelaksanaan Pitra Yadnya yang besar, tali pengikat purusa dan prakerti dilukiskan sebagai naga banda yang berarti naga pengikat. Dalam lontar Tutur Suksma ada disebutkan bahwa yang dimaksud naga adalah bayu atau energi yang muncul sebagai akibat menyatunya purusa dan prakerti . Tanpa tirtapangentas itu, ikatan purusa dengan prakerti tak akan bisa diputuskan. Bagi orang-orang yogin, mereka telah dapat memutuskan sendiri ikatan dengan kekuatan yoganya sehingga mereka bisa melakukan moksa angga . DalamYoga Kundalini dikemukakan, apabila yoganya telah mencapai titik kulminasi maka akan muncul panas dan dari panas inilah muncul api yang membakarstula –nya. Itu sebabnya, tirta pangentas sangat prinsipil kehadirannya dalam upacara Pitra Yadnya.
    e. Tirta kakuluh , bermakna sebagai pemberian restu kepada orang yang di upacara Pitra Yadnya.