Pura Samuan Tiga adalah sebuah bangunan pemujaan bagi pemeluk agama Hindu di Bali. Bangunan tersebut terletak di Desa Bedulu, Gianyar, yang telah berdiri sejak masa-masa prasejarah. Hakekatnya, pura ini berfungsi sebagai salah satu media pemujaan kepada kekuatan alam dan nenek moyang.Dalam Lontar (kitab Suci Weda) Tatwa Siwa Purana dalam lembar 11 menyebutkan, “Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka (Candrabhayasingha Warmadewa) membangun pura, antara lain Penataran Sasih dan Samuan Tiga.”
Pada saat-saat tertentu diadakan upacara-upacara ritual di Pura Samuan Tiga. Di antara rangkaian ritual tersebut, umumnya dipertunjukkan beberapa tarian, di antaranya; Nampyog Nganten, Siat Sampian, Sanghyang Jaran Menginjak Bara, Mapelengkungan, Siat Pajeng, Pendet dan Bale Pegat untuk menghilangkan berbagai ketidaksucian atau leteh. Pada saat piodalan (semacam upacara syukuran), selalu diadakan suatu ritual agama yang sangat menarik dan unik yang disebut ritual “Mesiat Sampian“. Keunikan ritual ini bisa dilihat pada piodalan Pura Samuan Tiga pada waktu Purnama Jehsta (Kesebelas).
Menurut catatan sejarah, Pura Samuan Tiga dibangun pada Abad X dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa silam. Saat itu, setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama. Untuk maksud tersebut, dibangunlah Pura Gunung, dalam hal ini Pura Tirte Empul di Manukaya Tampaksiring, Pura Penataran yang berada di pusat kerajaan yang tidak lain adalah Pura Samuan Tiga, dan yang ketiga Pura Segara.
Samuan Tiga sebagai Refleksi Kebersamaan
Pusat Pemerintahan di masa Bali Kuna berada di sekitar Desa Bedulu. Bukti sejarah menunjukkan Bedulu sebagai lokasi penting kerajaan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di desa tersebut. Di sinilah Pura Samuan Tiga berdiri kokoh hingga kini. Secara etimologi, kata Samuan Tiga merupakan gabungan dari kata Samuhan dengan kata Samuh yang mempunyai arti pertemuan, musyawarah dan rapat. Tiga yang berarti pada saat itu dihadiri oleh tiga pihak, jadi Samuan Tiga adalah pertemuan yang dihadiri oleh tiga pihak atau tiga kelompok.
Pada Lontar Dewa Purana Bangsul juga menyebutkan ”Pada masa itu ada lagi, Kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Samuan Tiga sebagai tempat para Dewa-Dewata, Bahatar-Bhatari dan bagi para Resi (pendeta) yang seluruhnya mengikuti musyawarah pada masa itu.” Hingga saat ini bernama Pura Samuan Tiga.
Dari Lontar tersebut menunjukan, pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting yakni penerapan sistim musyawarah di antara tokoh-tokoh masyarakat yang berkaitan dengan pemerintahan pada masa Bali Kuna. Pada masa itu, kerajaan dipimpin oleh pasangan suami-istri Udayana Warmadewa dan Gunapryadarmapatni (989–1011 M). Dalam sebuah pertemuan kerajaan dicapai suatu kesepakatan untuk menerapkan konsep Tri Murti pertama kalinya, yakni dengan terbentuknya pola Desa Pakraman dengan Kahyangan Tiga. Kesepakatan itu diambil melalui suatu musyawarah tokoh-tokoh agama Hindu di Bali. Keberhasilan pertemuan ini tidak lepas dari peran Mpu Kuturan sebagai Pemimpin Lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Paripurna Kerajaan.
Perlu dikemukakan juga bahwa pada masa itu sedang terjadi pertikaian antar sekte keagamaan di masyarakat Bali Kuna. Siwa Sidanta merupakan sekte yang sangat dominan. Perselisihan dipicu oleh klaim masing-masing sekte yang mengatakan bahwa dewa-dewa tertentu yang mereka puja sebagai dewa utama dengan simbol tertentu pula. Masing-masing penganut sekte itu beranggapan dan berkeyakinan bahwa dewa utama merekalah yang paling utama sedangkan yang lain lebih rendah.
Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian itu dipandang berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan. Untuk mengantisipasi konflik ini terus berlanjut, Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti dalam menyatukan semua sekte, dimana hanya ada tiga dewa utama yaitu; Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Konsep ini selanjutnya diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem) pada setiap desa. Bagi setiap keluarga diterapkan pembangunan Sanggah Kemulan Rong.
Pola pembangunan tiga pura di setiap desa ini kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial keagamaan bagi masyarakat Bali hingga hari ini, baik di Pulai Bali maupun di banyak tempat lain di tanah air. (net)
Posting Komentar