BREAKING NEWS

Selasa, 18 November 2014

Goa Gajah, apa yang ada difikiran Anda bila mendengar kata tersebut? Pasti banyak yang berfikir kalau goa ini dahulu terdapat banyak gajah. Goa Gajah merupakan salah satu situs peninggalan sejarah di bumi nusantara. Goa Gajah lebih tepat disebut pura, namun karena berbentuk goa, maka dinamai Goa Gajah. Nama ini sesungguhnya berasal dari kata Lwa Gajah, sebuah kata yang muncul pada lontar Negarakertagama yang disusun oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M dan dibangun pada abad ke-11. Situs ini sempat tertimbun dengan tanah, sebelum ditemukan sekitar tahun 1923.

Pura Goa Gajah terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar. Jaraknya dari Denpasar Kurang lebih 26 Km, sangat mudah dicapai. Di sana ada kios-kios kesenian dan Rumah makan. Pura ini di lingkupi oleh persawahan dengan keindahan ngarai sungai Petanu, berada pada jalur wisata Denpasar – Tampaksiring – Danau Batur – Kintamani. Memasuki objek wisata ini para pengunjung diwajibkan untuk mengenakan selendang yang telah tersedia didepan loket. Dilanjutkan dengan berjalan menapaki jalan turun yang berundak-undak menuju lokasi wisata. Goa Gajah sudah mulai terlihat keindahannya dari ketinggian, karena objek wisata ini terdapat di bawah. Setelah mendekat di depan goa, pengunjung bisa menikmati keindahan pahatan mulut goa dengan gaya khas Bali yang melambangkan hutan lebat dan makhluk hidup penghuninya. Peninggalan-peninggalan arkeologi berupa Tri Lingga yang dipercaya sebagai lambang kesuburan dan patung Ganesha sebagai symbol ilmu pengetahuan terdapat di goa yang berbentuk huruf T ini.

Selain itu, di sekitar goa juga terdapat kolam pertitaan dengan tujuh patung widyadara-widyadari yang sedang memegang air suci. Total patung ada tujuh, kini jumlahnya tinggal enam saja, satu patung menurut petugas dipindahkan ke lokasi lain, akibat gempa beberapa tahun yang lalu. Konon ketujuh pancuran ini sebagai perlambang tujuh sungai penting yang sangat dihormati di India. Tidak jauh dari tempat pemandian terlihat susunan batu padas yang merupakan serpihan atau puing-puing bangunan kuno yang belum teridentifikasi asal-usulnya serta bentuk bangunan aslinya.

Kompleks goa dan tempat pemandian berada di sebelah barat sungai Petanu. Sedangkan pada bagian sebelah timur dapat ditemukan goa alami dan jenis patung-patung Budha serta pahatan-pahatan batu tebing yang sebagian besar telah jatuh di pinggiran sungai yang juga akibat gempa bumi.
Tempat ini dahulu digunakan sebagai tempat pertapaan Bhiksu Budha dan Pendeta Siwa yang menandakan penyatuan ajaran agama Budhha dan Siwa yang berlangsung dengan baik.(net)
Bedulu memiliki peran strategis dalam lintas usaha pariwisata Bali. Berada pada jalur lintasan antara kota Denpasar  dan Kintamani, menjadikan desa pakraman Bedulu memiliki modal penting dalam kiprah usaha pariwisata.  Pentingnya  peran desa pakraman Bedulu dalam perjalanan sejarah Bali menjadikan desa kuna ini berpotensi untuk lbih dikembangkan. Terbukti, desa pakraman Bedulu telah ditetapkan Gubernur Bali sebagai salah satu desa wisata di Bali.

Penetapan desa pakraman Bedulu sebagai desa wisata di Bali, telah didasarkan pada keunikan dan keindahan alam desa Bedulu yang sudah dikenal sejak kehidupan jaman pra-sejarah. Sebagai daerah pemukiman pada jaman itu, dibuktikan adanya ditemukan tinggalan benda purbakala berupa peti batu, sarcopagus, di rumah warga Banjar Tengah I Gusti Ketut Alit. Temuan ini membuktikan wilayah Bedulu ketika itu sudah dipilih sebagai wilayah pemukiman. Keputusan ini tentu saja ditunjang berbagai pertimbangan positif lain, baik perimbangan untuk kelangsungan hidup, sisi keamanan maupun pertimbangan lain. Ketika itu wilayah Bedulu telah memenuhi kriteria yang disepakati.

Keputusan untuk hidup menetap di jalam masa silam itu, menjadi modal penting dalam kehidupan selanjutnya. Terbukti di desa pakraman Bedulu dipilih menjadi pusat aktifitas perkotaan, seiring dibangunnya pusat pemerintahan kerajaan di awal abad ke-sepuluh silam. Kerajaan yang selanjutnya dikenal dengan nama Kerajaan Bedahulu itu, tidak hanya mewilayahi Bali namun sudah mampu meluaskan kekuasaannya hingga sejumlah wilayah bali dan sekitarnya. Pusat kerajaan Bedahulu yang kini disebut pula dengan nama Bedulu, menjadikan desa ini menjadi sebagai pusat aktifitas masyarakat. Sebagai pusat perkotaan, dengan fasilitas dan sarana komunal, menjadikan Bedulu tampil sebaagai daerah tujuan wisata, baik bagi masyarakat pedesaan maupun warga Bali bahkan masyarakat dunia.

Tidak berhenti sampai di sana, ketika bercokolnya kolonialisme menguasai nusantara, Bedulu menjadi salah satu wilayah penting didatangi dan dikunjungi. Minat pengunjung dari warga kolonial dan warga dunia ketika itu, tidak semata-mata kepentingan politik. Karena kedatangan warga asing di Bedulu sangat tertarik dengan potensi yang ada, namun didorong peran penting Bedulu dalam catatan sejarah masa silam. Sebagai daerah perkotaan dan sentra kerajaan besar, di Bedulu dijumpai beragam budaya. Sehingga kedatangan warga asing dari berbagai golongan ini melahirkaan proses persilangan budaya dan pemupukan budaya lokal sehingga tumbuh dan dikenal masyarakat luas.

Seperti halnya tari kecak, berkat gubahan dan sentuhan seni yang dilakukan antroplog Rudlp Bonnet tari asli warga Bedulu tampil menjadi ikon pentas wisata hingga kini. Tari legong khas Bedulu dengan gaya lelasemannya, telah menjajal lantai pentas di sejumlah negara di dunia. Karya- karya pelukis tradisional yang suntuk dengan konsep ngayah, akhirnya diminati wisatawan manca negara yang berkunjung di desa Bedulu. Sejumlah perupa dari warga Bedulu didaulat menorehkan karya seninya, tidak hanya sejumlah bangunan monumental di tanah, beberapa karya perupa Bedulu dilibatkan dalam beberapa karya seni rupa dan bangunan di luar negeri.

Bercermin dari fakta yang ada, di awal kepemimpinan Presiden Suharto juga menjatuhkan pilihanya di Bedulu untuk pengembangan awal sektor pariwisata Bali bahkan Nasional. Dibangunnya Mandala Wisata di tahun 1970-an menjadi keputusan Pak Harto dalam pengembangan awal sektor wisata nasional. Karena berawal dari pembangunan kawasan objek wisata Mandala Wisata Bedulu, usaha pariwisata yang dikenal sebagai industri tanpa asap di tanah air terus berkembang. Tidak hanya di desa Bedulu, sejumlah objek wsiata yang ada terus dikelola dan dimanajemen untuk pengembangannya. Beberapa potensi yang dimiliki sebuah wilayah juga ditata untuk menambah daya tarik serta meningatkan angka kunjungan wisata. Bahkan beberapa objek dan daya tarik baru dieksplorasi guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan warga.

Keputusan Gubernur Bali menjadikan desa pakraman Bedulu sebagai desa wisata, tentunya tidak akan dapat berlangsung simultan tanpa dukungan serta petran aktif seluruh warganya. Karena Bali yang mengikrarkan diri sebagai daerah tujuan wisata dunia telah berkomitmen untuk mengembangkan wisata Bali yang ditunjang budaya Bali dengan dukungan aktifitas beragama warganya yang didominasi sebagai pemeluk Agama Hindu.

Desa Bedulu yang didaulat sebagai desa wisata, tentunya memikul beban berat dalam mengembangkan dan menata sektor pariwisatanya yang didukung budaya dan agama Hindu.  Mencapai tujuannya ini, Bedulu dituntut menyatukan visi dan misi dalam menunjang pancapaian tersebut. Setidaknya mampu tercipta kebersamaan dalam rancaangan awal, pelaksanaan prosesnya sampai pelaksanaan dan komitmen untuk menjaga kelangsungan Bedulu sebagai desa wisata dengan dukungan budayanya dan agama Hindu yang kuat.

Pentingnya komitmen dan kesatuan langkah ini, penataan serta kesadaran seluruh warga terbangun dalam menata dan mengembangkan desa wisata. Karena sebuah desa wisata setidaknya harus ditunjang sapta pesona. Kebersihan , sopan santun,
Pura Samuan Tiga adalah sebuah bangunan pemujaan bagi pemeluk agama Hindu di Bali. Bangunan tersebut terletak di Desa Bedulu, Gianyar, yang telah berdiri sejak masa-masa prasejarah. Hakekatnya, pura ini berfungsi sebagai salah satu media pemujaan kepada kekuatan alam dan nenek moyang.Dalam Lontar (kitab Suci Weda) Tatwa Siwa Purana dalam lembar 11 menyebutkan, “Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka (Candrabhayasingha Warmadewa) membangun pura, antara lain Penataran Sasih dan Samuan Tiga.”

Pada saat-saat tertentu diadakan upacara-upacara ritual di Pura Samuan Tiga. Di antara rangkaian ritual tersebut, umumnya dipertunjukkan beberapa tarian, di antaranya; Nampyog Nganten, Siat Sampian, Sanghyang Jaran Menginjak Bara, Mapelengkungan, Siat Pajeng, Pendet dan Bale Pegat untuk menghilangkan berbagai ketidaksucian atau leteh. Pada saat piodalan (semacam upacara syukuran), selalu diadakan suatu ritual agama yang sangat menarik dan unik yang disebut ritual “Mesiat Sampian“. Keunikan ritual ini bisa dilihat pada piodalan Pura Samuan Tiga pada waktu Purnama Jehsta (Kesebelas).

Menurut catatan sejarah, Pura Samuan Tiga dibangun pada Abad X dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa silam. Saat itu, setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama. Untuk maksud tersebut, dibangunlah Pura Gunung, dalam hal ini Pura Tirte Empul di Manukaya Tampaksiring, Pura Penataran yang berada di pusat kerajaan yang tidak lain adalah Pura Samuan Tiga, dan yang ketiga Pura Segara.

Samuan Tiga sebagai Refleksi Kebersamaan
Pusat Pemerintahan di masa Bali Kuna berada di sekitar Desa Bedulu. Bukti sejarah menunjukkan Bedulu sebagai lokasi penting kerajaan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di desa tersebut. Di sinilah Pura Samuan Tiga berdiri kokoh hingga kini. Secara etimologi, kata Samuan Tiga merupakan gabungan dari kata Samuhan dengan kata Samuh yang mempunyai arti pertemuan, musyawarah dan rapat. Tiga yang berarti pada saat itu dihadiri oleh tiga pihak, jadi Samuan Tiga adalah pertemuan yang dihadiri oleh tiga pihak atau tiga kelompok.

Pada Lontar Dewa Purana Bangsul juga menyebutkan ”Pada masa itu ada lagi, Kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Samuan Tiga sebagai tempat para Dewa-Dewata, Bahatar-Bhatari dan bagi para Resi (pendeta) yang seluruhnya mengikuti musyawarah pada masa itu.” Hingga saat ini bernama Pura Samuan Tiga.

Dari Lontar tersebut menunjukan, pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting yakni penerapan sistim musyawarah di antara tokoh-tokoh masyarakat yang berkaitan dengan pemerintahan pada masa Bali Kuna. Pada masa itu, kerajaan dipimpin oleh pasangan suami-istri Udayana Warmadewa dan Gunapryadarmapatni (989–1011 M). Dalam sebuah pertemuan kerajaan dicapai suatu kesepakatan untuk menerapkan konsep Tri Murti pertama kalinya, yakni dengan terbentuknya pola Desa Pakraman dengan Kahyangan Tiga. Kesepakatan itu diambil melalui suatu musyawarah tokoh-tokoh agama Hindu di Bali. Keberhasilan pertemuan ini tidak lepas dari peran Mpu Kuturan sebagai Pemimpin Lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Paripurna Kerajaan.

Perlu dikemukakan juga bahwa pada masa itu sedang terjadi pertikaian antar sekte keagamaan di masyarakat Bali Kuna. Siwa Sidanta merupakan sekte yang sangat dominan. Perselisihan dipicu oleh klaim masing-masing sekte yang mengatakan bahwa dewa-dewa tertentu yang mereka puja sebagai dewa utama dengan simbol tertentu pula. Masing-masing penganut sekte itu beranggapan dan berkeyakinan bahwa dewa utama merekalah yang paling utama sedangkan yang lain lebih rendah.

Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian itu dipandang berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan. Untuk mengantisipasi konflik ini terus berlanjut, Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti dalam menyatukan semua sekte, dimana hanya ada tiga dewa utama yaitu; Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Konsep ini selanjutnya diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem) pada setiap desa. Bagi setiap keluarga diterapkan pembangunan Sanggah Kemulan Rong.
Pola pembangunan tiga pura di setiap desa ini kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial keagamaan bagi masyarakat Bali hingga hari ini, baik di Pulai Bali maupun di banyak tempat lain di tanah air. (net)

Minggu, 16 November 2014


Kamung Pasek mwang Bandesa, aywa lipia ring Kahyangan, makadi ring Lempuyang, ring Besakih, ring Çilayukti mwang ring Gelgel Dasar Bhuwana. Yan kita lupa ring Kahyanganta, wastu kita tan anut ring apasanakan, tan wus amangguh rundah, tan mari acengelin ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan, mangkana piteketku ri prati santana, kapratisteng prasasti, sinuhun de kita pra sama, kita tan wenang piwal ring piteketku, ila-ila dahat, aywa lupa, aywa lali. Mwah yan kita pageh ring piteketku, moga tan wus kita amanggihana dirgha yusa, amanggih wirya gunamanta, siddhi ngucap, janna nuraga, asihing Hyang, dibya guna, susila weruhing naya, mangkana cihnanyeng lepihan”

Artinya :

“Kamu Pasek dan Bandesa, janganlah kamu lupa dengan Kahyanganmu, yaitu di Lempuyang (Pura Lempuyang Madya), di Besakih (Pura Catur Lawa Ratu Pasek), Çilayukti, dan di Gelgel Dasar Bhuwana. Jika kamu lupa dengan kahyangnmu, akibatnya kamu tidak akan pernah rukun dengan keluarga, tidak henti-hentinya menemui masalah, selalu bertengkar dalam keluarga, banyak kerjaan tapi kurang makan, demikian amanatku kepada keturunanmu tercantum dalam prasasti, agar dijunjung oleh kalian semua, tidak boleh melanggar dari amanat yang Aku sampaikan, sangat berbahaya, jangan lupa, jangan diabaikan.

Dan Jika kamu taat kepada amanatku, moga-moga kamu senantiasa berada dalam keselamatan, mendapat kekuatan (gunamanta), segala kata-katanya dikabulkan, termasyur, dikasihi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, mulia dan pandai, berperilaku yang baik dan menguasai ilmu kepemimpinan, Demikianlah yang tersebut dalam prasasti”