BREAKING NEWS

Selasa, 03 Maret 2015

Mengurai sebab dari akibat di masa Bali kini

Sebelum pertumbuhan ekonomi seperti sekarang, apakah yang mendorong orang untuk mengembangkan pulau Bali ini menjadi industri pariwisata seperti sekarang. Tentu yang menjadi jargon adalah karena keindahan alamnya, keramahan penduduknya, dan keunikan budayanya yang tdk lepas dari nilai2 spiritual/agama yang menjadi keyakinan masyarakat Bali secara turun temurun. Namun apakah kah benar seperti itu ?.

Secara geologis dan geografis, seperti daerah nusantara lainnya, memang terletak di daerah khatulistiwa dan daerah vulkanis, yang menjadikan alamnya penuh dengan kesuburan dan kehijauan hutan tropis. Tapi keadaan ini tidak hanya ada di Bali, bahkan di tempat2 lain di luar Bali, jawa, sumatera, kalimantan, sulawesi, nusa tenggara, maluku, papua alamnya lebih indah dan eksotis dari Bali ini, lalu kenapa jargon ini hanya jatuh pada pulau Bali ?.

Secara akar budaya dan historis, Bali ini sepanjang diketahui dan tercatat sudah ada kerajaan Bali Aga, yaitu Kerajaan Badhahulu (singhamandawa) yang dimpin oleh Raja Ugrasena -Sri Kesari Warmadewa  pada abad ke 8 Masehi, dan Rajanya yg terkenal Raja Udayana dan Ratu Mahendradatta yg melahirkan Raja Airlangga di jawa timur. Lalu setelah beberapa generasi pernah tunduk pada Kerajaan Singasari, dan merdeka lagi. Dan pada akhirnya kalah oleh invansi Majapahit, dengan siasat Gajah Mada memperdaya Patih Kebo Iwa yg sangat termashur dan tak bisa dikalahkan. Butuh waktu cukup lama untuk Majapahit bisa merebut hati masyarakat Bali Aga, berbagai pemberontakan terjadi diseluruh pelosok Bali sampai akhirnya saling silang perkawinan dan jabatan antara trah arya Majapahit dan trah Bali Aga dilakukan, untuk meredam kekacauan masyarakat yang masih mencintai Rajanya yg dulu. Gianyar khususnya daerah Blahbatuh adalah pusat kerajaan Bali Kuno yang sekarang menjadi pusat Kesenian di Bali. Lalu apakah Kehidupan Berkesenian ini yang menjadi jargon keramahan yg melekat pada orang Bali, atau karena keadaan wkt itu yang membuat masyarakat Bali “terpaksa ramah” dan akhirnya terbiasa ramah terhadap calon “penjajah” ?.

Perpaduan budaya yg dibawa Majapahit dan budaya Bali Kuno membawa keunikan tersendiri, apalagi memiliki akar keyakinan yg sama. Tempat-tempat suci peninggalan kerajaan Badhahulu tetap dilestarikan dan difungsikan sebagai sentra2 “energi”. Yang membuat Bali ini bersinar, yg istilah Balinya, memiliki “Taksu”. Berbagai upacara dan konsep spiritual yg di “upgrade” pada tiap jamannya menjadikan “Taksu” Bali semakin bersinar. Yang tercatat ada Rsi Markendya, Mpu Sidimantra-Manik Angkeran-Sangkul Putih, Mpu Kuturan, Dang Hyang Dwijendra yang menjadikan pulau Bali sebagai benteng terakhir “akar keyakinan dan spiritual” yg pada abad ke 15 mengalami invansi dari Demak dan Kerajaan2 islam yang mulai mengembangkan sayapnya di seluruh nusantara dengan dibantu kerajaan2 di utara sperti Mughal dan Ottoman yg sedang bersaing memberikan bantuan kepada Kerajaan Demak dalam kepentingannya mengembargo rempah2 agar tidak tersupply ke Kerajaan2 Eropa.

Selain Rsi-rsi tsb masih banyak yang dipercaya ikut berperan dalam membentuk karakter spiritual/agama di Bali, bahkan sebelum kedatangan Rsi Markendya sudah ada Rsi Lokal Bali yang tdk ada catatan, hanya berupa cerita mitos turun temurun dari daerah2 Bali Mula. Bali Mula dipercaya sebagai penduduk asli Bali sebelum kedatangan Rsi Markendya, contoh daerah Kintamani, Trunyan dan sekitarnya. Hingga sekarang tidak ada daerah yang seperti Bali, yang memiliki “keyakinan dan konsep spiritual seperti Bali ini. Saya rasa inilah yang menyebabkan Bali ini memiliki “aura”, “taksu” yang membuat orang nyaman untuk tinggal di Bali. Inilah yang pada awalnya sebagai “aksi-reaksi” adanya industri pariwisata seperti sekarang yang menyokong pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor tidak hanya bagi Bali tapi juga nasional bahkan internasional.

Namun apa yang terjadi kini, Bali “bunuh diri” karena liarnya perkembangan pariwisata, industri pariwisata membawa masalah yang kompleks bagi masyarakat Bali. Dari isu2 lingkungan, isu budaya, isu sosial, sampai isu keyakinan. Pembangunan yang sembrawut pada “simpul2 energi” alam akan menjadi seperti bom waktu yang pada saatnya akan meledak. Banyaknya pendatang yang terdiri dari latar belakang dan motivasi yang berbeda2 datang untuk menjamah dan merasakan “liang kenikmatan” pulau Bali ini. Kenikmatan ekonomi dan kenyaman yang didapat tidak dibarengi dengan ikut merawat apa yang membuat Bali ini bgtu nikmat.Budaya dan Keyakinan Bali adalah sumber kenikmatan yg sekarang dijamah segelintir orang. Degradasi Budaya dan Keyakinan di Bali beranak pinakan permasalahan sosial, persaingan tidak sehat, tindak kriminal, degradasi moral, kompetisi yg tdk seimbang, impotennya kekuatan politik lokal, teracak-acaknya sistem bermasyarakat adat Bali yg menjadi pijakan budaya, labilnya sistem kekeluargaan yg menjadi ranting budaya, Tercabutnya akar budaya Keyakinan Spiritual Bali yg terus digrogoti dan dikontaminasi.


Tentu akan ada yg beranggapan berlebihan, namun setetes air bisa menghancurkan batu karang, sebab kecil sekalipun akan dapat berakibat besar. Spirit Budaya Bali membangun Pariwisata Bali, dan Pariwisata juga yang akan bisa Menghancurkan Spirit Budaya Bali dan tentu meredupkan Taksu Bali jika kita tidak eling dan waspada terutama terhadadap intrik-intrik politik (kesadaran politik).

Ki Wiraksha Mathura
Bali Dwipantara, Anggara Umanis Uye, Sasih Kesanga, Candra Sang Kala “Tresna laksana ngrestiti bumi” (1936 saka)

Posting Komentar